Makalah Hukum Perdata : Hukum Jaminan

Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081478337623



BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari, orang perorangan maupun suatu badan hukum memerlukan uang untuk membiayai usaha mereka, namun demikian kadang-kadang mereka tidak mempunyai uang yang cukup. Karena itu terkadang mereka terpaksa meminjam kepada orang atau badan hukum lainnya yang mempunyai dana yang cukup.
Istilah “jaminan” berasal dari kata ”jamin” yang berarti tanggung, sehingga istilah ‘jaminan”dapat diartikan tanggungan. Jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan  fasilitas/kredit.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.
Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan peminjaman dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini.
Untuk mencegah terjadinya kerugian dari pihak kreditor yang diakibatkan ketidakmampuan debitor membayar utangnya, kreditor akan meminta jaminan kepada debitor untuk memperlancar dan ketertiban pembayaran piutangnya serta mencegah timbulnya kerugian.





B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Hukum Jaminan? Serta apa saja asas-asas dan ruang lingkup dari Hukum Jaminan tersebut?
2.      Apa sajakah yang termasuk dalam Lembaga Jaminan?
3.      Apakah yang dimaksud dengan Jaminan Utang?


C.    TUJUAN PENULISAN
1)      Untuk mengetahui pengertin, asas dan ruang lingkup Hukum Jaminan
2)      Untuk mengetahui tentang
3)       Lembaga Jaminan dan apa saja yang termasuk ke dalam Lembaga Jaminan
4)      Untuk mengetahui tentang Jaminan Utang.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN, ASAS DAN RUANG LINGKUP HUKUM JAMINAN

1.      Pengertian Hukum Jaminan
Istilah “jaminan” berasal dari kata”jamin” yang berarti tanggung, sehingga istilah”jaminan”dapat diartikan tanggungan.[1] Jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidsstelling atau security of law. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga hipotek dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai dengan 30 juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari penggolongan jaminan.
Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli :
a.       Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.

b.      J satrio
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor.
Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor. Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitor.
c.       Salim H.S
Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
d.      Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit.
Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.
Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah – kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan  fasilitas/kredit.

2.      Asas-asas dalam Hukum Jaminan
a.       asas publicitet : asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan.
b.      asas specialitet : bahwa hak tanggungan, hak fidusia dan hak hipotik  hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang – barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.
c.       asas tak dapat dibagi – bagi : asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
d.      asas inbezittstelling yaitu barang jaminan ( gadai ) harus berada pada penerima gadai.
e.       asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.

3.      Ruang Lingkup dalam Hukum Jaminan[2]

a.       Jaminan Umum dan Jaminan Khusus
Jaminan umum adalah jaminan dari pihak editor yang terjadi by the operation of law dan merupakan mandatory rule; setiap barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitor menjadi tanggungan utangnya kepada kreditor. Dasar hukumnya adalah pasal 1131 KUH Perdata[3]. Dengan demikian, apabila seorang debitor dalam keadaan wanprestasi, maka lewat kewajiban umum ini kreditor dapat minta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitor – kecuali jika atas harta tersebut ada hak-hak lain yang bersifat preferensial.
Jaminan khusus yaitu setiap jaminan utang yang bersifat kontraktual, yakni yang terbit dari perjanjian tertentu.
b.      Jaminan Pokok dan Jaminan Tambahan
Sebagaimana diketahui bahwa kredit diberikan kepada debitor berdasarkan “kepercayaan” dari kreditor akan kesanggupan pihak debitor untuk membayar kembali utangnya kelak. Dalam hukum diberlakukan suatu prinsip bahwa kepercayaan tersebut dipandang sebagai jaminan pokok dari pembayaran kembali utang-utangnya kelak.

Sementara itu, jaminan yang bersifat kontraktual berupa jaminan atas barang hanya dipandang sebagai jaminan tambahan atas jaminan pokok.
c.       Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu. Jaminan kebendaan juga dapat diartikan sebagai jaminan yang objeknya berupa barang baik yang bergerak maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang debitor kepada kreditor apabila di kemudian hari utang tersebut tidak dapat di bayar oleh debitor.[4]
Jaminan kebendaan yang berlaku saat ini adalah:
1)      Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tidak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.
2)      Hak tanggungan; berobjekkan hak tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dengan dasar hukumnya yaitu UU Hak Tanggungan
3)      Gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya dan memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang yang berpiutang lainnya.
4)      Gadai Tanah; berobjekkan pada tanah dengan dasar hukumnya yaitu hukum adat dan UU Pokok Agraria
5)      Fidusia; berobjekkan pada benda bergerak maupun tidak bergerak dengan dasar hukumnya UU Fidusia



Jaminan perorangan adalah jaminan yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan, bukan terhadap benda tertentu. Jaminan perorangan dapat diklasifikasikan kepada tiga golongan, yakni :
1)      Garansi pribadi (personal guarantee); yang menjadi subjek terhadap jaminannya adalah orang secara pribadi
2)      Jaminan perusahaan (corporate guarantee); yang menjadi subjek jaminan tersebut adalah pihak perusahaan
3)      Garansi bank (bank guarantee); garansi yang diberikan oleh suatu bank.

d.      Jaminan Regulatif dan Nonregulatif
Jaminan regulatif  adalah jaminan kredit yang kelembagaannya sendiri sudah di atur secara eksplisit dan sudah mendapat pengakuan dari perundang-undangan yang berlaku. Jaminan yang tergolong ke dalam jaminan regulatif antara lain:
1)      Hipotek; di atur dalam KUH Perdata dan UU di bidang agraria
2)      Credietverband; di atur dalam S. 1908-542 juncto S. 1937-190, kemudian diakui keberadaannya untuk sementara oleh Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Kemudian dengan keluarnya UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, lembaga ini dinyatakan tidak berlaku lagi dan dicakup dengan hak tanggungan atas tanah.
3)      Gadai; di atur dalam KUH Perdata dan dalam hukum adat.
4)      Hak Tanggungan atas Tanah; di atur dalam UU Pokok Agraria dan UU tentang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.
5)      Garansi; di atur dalam KUH Perdata buku ketiga
Jaminan non regulatif adalah bentuk-bentuk jaminan yang tidak diatur khusus dalam berbagai perundang-undangan dan dilaksanakan dalam praktik. Jaminan nonregulatif ini ada yang berbentuk kebendaan seperti pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi, dan sebagainya; ada juga yang semata-mata hanya bersifat kontraktual seperti kuasa menjual dan sebagainya.

e.       Jaminan Konvensional dan Jaminan Nonkonvensional
Suatu jaminan kredit dikatakan konvensional jika pranata hukum tentang jaminan tersebut sudah lama dikenal dalam sistem hukum kita – baik yang telah diatur dalam UU seperti KUH Perdata, hukum adat, ataupun tidak diatur dalam perundang-undangan dan bukan berasal dari hukum adat tetapi sudah lama dilaksanakan dalam praktik, serperti gadai, garansi, hipotek, hak tanggungan, gadai tanah, garansi bank, garansi personal dan sebagainya.
Jaminan nonkonvensional yaitu bentuk-bentuk jaminan yang meskipun sudah dilaksanakan secara luas tapi eksistensinya dalam sistem hukum jaminan masih terbilang baru – sehingga pranatanya masih belum sempat di atur dengan rapi. Yang termasuk jaminan nonkonvensional antara lain pada pengalihan hak tagih, pengalihan hak tagih klaim asuransi, kuasa menjual, jaminan menutupi kekurangan biaya dan sebagainya.
f.       Jaminan Eksekutorial Khusus dan Jaminan Noneksekutorial Khusus
Jaminan eksekutorial khusus yaitu jika hukum menyediakan cara tertentu bagi kreditor untuk melakukan eksekusi jaminan ketika terjadi kredit macet seperti pada hipotek, hak tanggungan atas tanah, gadai, kuasa jual, akta pengakuan utang, pengalihan tagihan debitor dan sebagainya.
Jaminan noneksekutorial khusus adalah jaminan kredit yang tidak mempunyai cara-cara khusus dalam hal eksekusinya. Jika hendak dieksekusi, maka harus tunduk kepada eksekusi yang berlaku umum yaitu lewat pengadilan biasa dengan prosedur biasa. Yang termasuk ke dalam jaminan ini yaitu garansi personal dan garansi perusahaan.
g.      Jaminan Serah Benda, Jaminan Serah Dokumen dan Jaminan Serah Kepemilikan Konstruktif
Jaminan serah benda adalah jaminan kredit yang benda jaminannya secara fisik diserahkan oleh debitor ke dalam kekuasaan kreditor, sementara kepemilikan benda tersebut tetap di tangan debitor. Biasanya bersamaan dengan penyerahan benda diserahkan pula dokumen kepemilikan benda tersebut kepada kreditor. Contoh jaminan kredit jenis ini yaitu pada gadai saham atau gadai tanah versi hukum adat.
Jaminan serah dokumen yaitu jaminan kredit yang tidak diserahkan benda jaminannya secara fisik ke dalam kekuasaan pihak kreditor tetapi tetap dikuasai bahkan diambil hasil oleh pihak debitor. Contohnya pada hipotek atau pada hak tanggungan.
Jaminan serah kepemilikan konstruktif yaitu kepemilikan benda jaminannya yang diserahkan oleh debitor kepada kreditor, namun hanya secara konstruktif belaka sementara kekuasaan dan hak untuk menikmati hasil atas benda jaminan tersebut tetap berada pada debitor. Dokumen kepemilikan benda tersebut juga harus diserahkan tanpa dilakukan balik nama. Jaminan fidusia termasuk ke dalam jenis jaminan kredit ini.
B.     LEMBAGA JAMINAN

1.      Gadai
Gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau oleh seseorang lain atas namanya dan memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang yang berpiutang lainnya.[5]
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang bersifat assessoir[6] yang diberikan oleh pihak pemberi gadai (debitor) kepada pemegang gadai (kreditor) sebagai jaminan atas pembayaran utang. Caranya adalah dengan menyerahkan benda objek gadai yang dapat berupa benda bergerak, bertubuh maupun tidak bertubuh ke dalam kekuasaan pemegang gadai atau pihak ketiga yang disetujui kedua belah pihak. Jadi, debitor atau pihak ketiga yang disetujui memegang hak untuk memakai dan/atau menikmati hasil atas benda objek gadai tersebut.[7]
Gadai menurut pasal 1196 KUH Perdata adalah sebuah hak atas benda bergerak milik orang lain yang maksudnya bukanlah untuk memberikan kepada orang yang berhak-gadai (penerima gadai) itu nikmat dari benda tersebut, tetapi hanyalah untuk memberikan kepadanya suatu jaminan tertentu bagi pelunasan suatu piutang dan itu adalah jaminan yang paling kuat dari pada jaminan yang dimilikinya berdasarkan pasal 1177.[8]
Hak gadai yang bersifat kebendaan hanya dapat ditanamkan atas benda-benda yang bergerak, dapat dikenai perpindah-tanganan, berwujud maupun tidak berwujud.[9]
Gadai juga merupakan jaminan sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.[10] Menurut pasal tersebut gadai merupakan pemberian jaminan benda bergerak di mana benda tersebut diserahkan oleh debitor dalam kekuasaan kreditor, dan kreditor dapat mengambil pelunasan piutangnya dari barang tersebut secara didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya. Yang dimaksudkan dengan benda bergerak dalam Pasal 509 KUH Perdata[11] adalah benda-benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan di samping itu, juga terdapat barang bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya hak pakai, hak atas bunga, bukti saham, kupon-kupon obligasi dan lain-lain.[12]
Mengenai bagaimana cara penyerahan barang yang digadaikan, dilakukan menurut cara yang diatur dalam Pasal 1152 ayat (1) dan Pasal 1153 KUH Perdata, di mana kedua ketentuan tersebut mengatur penyerahan barang yang bergerak yang bertubuh dan yang tidak bertubuh, sebagai berikut:
a)      Hak gadai atas barang-barang bergerak dan atas piutang piutang atas bawa dengan cara membawa barang tersebut dan menyerahkan kepada kreditur.
b)      Hak gadai atas surat-surat tunjuk selain endosemennya, juga menyerahkan surat-suratnya.
c)      Hak gadai atas barang-barang bergerak yang tidak bertubuh kecuali surat-surat tunjuk atau surat-surat bawa dengan cara memberitahukan perjanjian gadai kepada kreditur. Kreditur dapat meminta bukti tertulis dari debitor.[13]

2.      Jaminan Fidusia
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia; Undang-undang No. 42 Tahun 1999 sudah menggunakan istilah fidusia. Istilah fidusia sendiri dalam bahasa Indonesia juga disebut dengan “penyerahan hak milik secara kepercayaan.” Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya yakni fuduciare eigendom overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan fiduciary transfer of ownership.
Jaminan fidusia adalah suatu jaminan utang yang bersifat kebendaan (baik utang yang telah ada maupun utang yang akan ada), yang pada prinsipnya memberikan barang bergerak sebagai jaminannya (tetapi dapat diperluas terhadap barang-barang tidak bergerak) dengan memberikan penguasaan dan penikmatan atas objek jaminan utang tersebut kepada debitor (dengan jalan pengalihan hak milik atas benda objek jaminan tersebut kepada kreditor) kemudian pihak kreditor menyerahkan kembali penguasaan dan penikmatan atas benda tersebut kepada debitornya secara kepercayaan (fiduciary). Dalam hal ini, apabila utang yang dijamin dengan jaminan fudisia sudah dibayar lunas sesaui dengan yang diperjanjikan, maka titel kepemilikan tersebut diserahkan kembali oleh kreditor kepada debitor. Sebaliknya, apabila utang tidak terbayar lunas, amka benda objek fidusia tersebut harus dijual, dan dari harga penjualan tersebut diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitor. Sebaliknya, apabila dari hasil penjualan benda objek jaminan fidusia ternyata tidak menutupi utang yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum terbayarkan tersebut.[14]
Jaminan benda bergerak, pada umumnya menggunakan fidusia yang terdiri dari piutang-piutang atau surat-surat berharga lainnya.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Fidusia adalah hak jaminan atas barang yang bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 secara tegas mengatakan bahwa fidusia tidak berlaku terhadap pesawat udara, kecuali komponen-komponen yang terurai seperti mesin pesawat udara. Di samping itu, pemberi fidusia harus berkedudukan di Indonesia, pemberi fidusia yang berkedudukan di luar negeri tidak diperbolehkan.[15]
Untuk itu, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip utama fidesia adalah sebagai berikut:
a)      Undang-undang fidusia terbentuk setelah reformasi, yakni kurang lebih 49 tahun Indonesia merdeka dengan dibentuknya peraturan tertulis tentang fudisia yaitu UU No. 42 Tahun 1999.
b)      Penyerahan hak milik secara kepercayaan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999.
c)      Barang tidak bergerak dapat menjadi objek fidusia.
d)     Barang yang difudisiakan tidak perlu diserahkan kepada kreditur.
e)      Kreditur tidak perlu menyediakan tempat penyimpanan barang.
f)       Kreditur tidak menanggung pemeliharaan barang.
g)      Kreditor tidak bertanggung jawab terhadap resiko kehilangan barang.
h)      Kreditor tetap berhak menarik barang ketika hendak melakukan eksekusi fidusia.
i)        Perjanjian fidusia dengan akta notaris
j)        Isi perjanjian fudisia sudah ditetapkan UU.
k)      Pendaftaran fudisia ke kementrian Hukum dan HAM.[16]

3.      Hipotek
Hipotek pada umumnya diatur dalam pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata. Menurut pasal 1162 KUH Perdata yang dimaksudkan dengan hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tidak bergerak yang dijadikan pelunasan dalam suatu perikatan.[17]
Istilah hipotek berasal dari hukum Romawi hypotheca yang berarti “pembebanan”, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut onderzetting.
Hipotek adalah suatu hak kebendaan yang merupakan perjanjian assessoir (ikutan) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan utang, dan berobjekkan benda tidak bergerak yang tidak diserahkan penguasaan atas benda tersebut ke dalam kekuasaan kreditor, dan juga kepada pemegang hipotek diberikan hak preferensi untuk didahulukan pembayarannya dari kreditor lainnya. Sebagai suatu hak kebendaan, hipotek mengikuti bendanya ke manapun benda tersebut dipindahtangankan. Awal mulanya, objek hipotek adalah tanah dan kapal laut. Kemudian, dengan dikeluarkannya Undang-undang Hak Tanggungan maka terhadap jaminan atas tanah berlaku hak tanggungan, sehingga hipotek hanya tinggal untuk kapal laut saja.
Sifat dari hak kebendaan lainnya adalah absolut, dalam arti hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Artinya, pemilik hak kebendaan dapat menuntut siapapun yang mengganggu haknya, karena setiap orang harus menghormati hak kebendaan tersebut.
Sebagai perjanjian assessoir, hipotek mengikuti perjanjian pokok yang merupakan perjanjian utang-piutang atau perjanjian yang menerbitkan utang-piutang. Jadi, hipotek bukanlah perjanjian yang indenpenden.
Jadi, mana kala utang yang dijamin dengan jaminan hipotek tersebut sudah dibayar lunas sesuai yang diperjanjikan, maka hipotek dihapus dan dicoret dari dalam buku pendaftaran hipotek. Sebaliknya, mana kala utang tidak dibayar lunas sesuai yang diperjanjikan, maka benda objek jaminan hipotek tersebut harus dijual; dari harga penjualan tersebut akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya harus dikembalikan kepada debitornya. Sebaliknya, mana kala dari hasil penjualan benda objek jaminan hipotek ternyata tidak menutupi utang yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum terbayarkan tersebut, sesuai prinsip bahwa utang yang dibuat harus dibayar menurut hukum.[18]
Menurut pasal 1209 ayat 1, hipotik itu adalah tak dapat dibagi. Maksudnya, hipotik tersebut tetap meletak atas benda yang terikat seluruhnya meskipun sudah ada pelunasan utangnya untuk sebagian.[19]
Prinsip-prinsip utama dari hipotek dapat disebutkan sebagai berikut ;
a)      Debitor harus memelihara objek jaminan hipotek dengan baik, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain.
b)      Kreditor pemegang jaminan hipotek adalah kreditor preferens.
c)      Berlaku prinsip  droit de suite. Di mana, suatu jaminan hipotek mengikuti benda yang menjadi objek jaminannya ke manapun ata kepada siapapun benda tersebut berpindah.
d)     Jaminan hipotek merupakan jaminan assessoir dengan konsekuensi antara lain :
·         Jaminan hipotek mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian utang-piutang
·         Apabila utang hapus atau lunas dibayar, maka hipotekpun dihapus
·         Apabila utang yang dijamin dengan hipotek tersebut beralih ke pihak lain, maka hipotek pun ikut beralih juga.
e)      Hak pemegang hipotek untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitor.
f)       Jika hasil penjualan barang objek jaminan hipotek melebihi jumlah utangnya, maka sisa penjualan harus diberikan kepada pemberi hipotek.
g)      Pada prinsipnya, hipotek dapat diletakkan atas utang yang sudah ada.
h)      Pada prinsipnya, hipotek dapat diikatkan hanya atas benda yang sudah ada.
i)        Pemberi hipotek haruslah pihak yang memiliki titel kepemilikan atas objek jaminan hipotek.
j)        Benda objek jaminan hipotek tidak dapat dipisah-pisah. Dalam konteks ini, meskipun hipotek dapat diikat untuk beberapa hipotek sekaligus tetapi seluruh benda objek jaminan hipotek diikat untuk seluruh kreditor tersebut. Maksudnya, satu benda objek jaminan hipotek tidak dapat dibagi-bagi; artinya tidak dapat kreditor tertentu mendapatkan bagian tertentu dari objek jaminan.
k)      Objek jaminan hipotek tidak dapat dipecah atau digabung. Maksudnya, setelah satu hipotek diikatkan terhadap satu atau lebih objek jaminan hipotek, maka tidak dapat di kemudian hari satu objek jaminan hipotek dipecah menjadi dua atau lebih objek jaminan hipotek di kemudian hari ataupun di gabung menjadi satu.
l)        Berlaku asas publisitas, di mana hipotek harus di daftarkan ke kantor pendaftaran agar dapat dilihat oleh publik.
m)    Tidak boleh dieksekusi secara mendaku. Artinya, benda yang menjadi objek jaminan hipotik tidak dapat langsung dieksekusi menjadi milik kreditor, meskipun diperjanjikan seperti itu oleh para pihak.[20]


4.      Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah suatu hak kebendaan yang harus dibuat dengan akta otentik dan di daftarkan serta bersifat assessoir dan eksekutorial yang diberikan oleh debitor kepada kreditor sebagai jaminan atas pembayaran utang-utangnya yang berobjekkan tanah dengan atau tanpa segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut, yang memberikan hak prioritas atas pemegangnya untuk mendapat pembayaran utang terlebih dahulu dari pada kreditor lainnya meskipun tidak harus yang mendapat pertama, yang dapat dieksekusi melalui pelelangan umum atau bawah tangan atas tagihan-tagihan dari pihak kreditor pemegang hak tanggungan, dan yang mengikuti benda objek jaminan ke manapun objek hak tanggungan tersebut dialihkan.
Sebagaimana diketahui, di Indonesia – pada awal berlakunya Kitap Undang-undang Hukum Perdata – yang berlaku sebagai penjamin tanah terhadap utang adalah hipotek. Sedangkan gadai berlaku terhadap jaminan atas benda-benda bergerak. Sementara dalam hukum adat dikenal dengan istilah “gadai tanah”. Di samping itu, dalam praktek dahulu di kenal pula jaminan utang yang disebut “fudisia” yang kemudian di atur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang  Jaminan Fudisia.
Khusus untuk hipotek atas tanah, perkembangan selanjutnya adalah tetap diberlakukannya hipotek oleh UU yang berlaku terhadap tanah, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 maka ketentuan KUH tentang hipotek yang semula masih dinyatakan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 57 dari UU No. 5 Tahun 1960 menyatakan:
“Selama undang-undang mengenai hak tanggungan yang tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah hypotheek yang tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan credietverband yang tersebut dalam S. 1908 no. 542, sebagaimana yang telah diubah dengan S. 1937 no 190.”

Akan tetapi, dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1996, khusus mengenai jaminan atas tanah dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 29 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan sebagai berikut:
“Dengan berlakunya undang-undang tentang hak tanggunganini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatblad 1908-542 juncto Staatblad 1909-586 Staatblad 1909-584, sebagaimana yang telah diubah dengan Staatblad 1937-190 junto Staatblad1937-191, dan ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku.”[21]

C.    JAMINAN UTANG

1.      Latar Belakang Jaminan Utang
Dalam kehidupan sehari-hari, orang perorangan maupun suatu badan hukum memerlukan uang untuk membiayai usaha mereka, namun demikian kadang-kadang mereka tidak mempunyai uang yang cukup. Karena itu terkadang mereka terpaksa meminjam kepada orang atau badan hukum lainnya seperti Bank yang mempunyai dana yang cukup.
Bank sebagai badan hukum penyaluran dana melalui pemberian kredit sering kali mengalami tragedi seperti “kredit macet” yang beresiko tinggi. Fungsi jaminan dalam suatu pinjaman merupakan faktor yang menentukan dalam pembayaran kredit.[22]
Sebenarnya jaminan semacam itu secara historis telah ada sejak 118 SM. Pada zaman Romawi, bila mana seorang debitor tidak dapat melunasi utangnya, maka pribadi debitor secara fisik harus bertanggung jawab. Kreditor dapat menjual debitor sebagai budak untuk melunasi utangnya dengan terlebih dahulu memberi tenggangan waktu sekitar 60 hari untuk melunasi utangnya sebelum di jual sebagai budak. Bahkan pada masa Yunani kuno, kematian dan pemotongan anggota tubuh hingga dipenjara juga menjadi jaminan untuk pembayaran utang.
Setelah perbudakkan dihapuskan, debitor dapat dipenjarakan bila tidak membayar utangnya. Penahanan yang demikian dibawa oleh Belanda ke Indonesia yang dikenal sebagai lembaga gijzeling (penyanderaan) yang sekarang dihapuskan menurut hukum nasional. Untuk mencegah terjadinya kerugian dari pihak kreditor yang diakibatkan ketidakmampuan debitor membayar utangnya, kreditor akan meminta jaminan kepada debitor untuk memperlancar dan ketertiban pembayaran piutangnya serta mencegah timbulnya kerugian.[23]
2.      Pengertian Jaminan Utang
Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitor, di mana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assessoir terhadap perjanjian pokoknya-berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang.[24]
Utang pitang sebagai sebuah perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban kepada kreditur dan debitur yang bertimbal balik. Inti dari perjanjian utang piutang adalah kreditur memberikan pinjaman uang kepada debitor yang wajib dikembalikan dalam waktu yang telah ditentukan disertai dengan bunganya. Pada umumnya, pengembalian utang dilakukan dengan cara diangsur setiap bulannya.[25]
Untuk mencegah terjadinya kerugian dari pihak kreditor yang diakibatkan ketidakmampuan debitor membayar utangnya, kreditor akan meminta jaminan kepada debitor untuk memperlancar dan ketertiban pembayaran piutangnya serta mencegah timbulnya kerugian.
3.      Prinsip-prinsip Yuridis atas Jaminan Utang

a.       Prinsip Teritorial
Prinsip teritorial menentukan bahwa barang jaminan yang ada di Indonesia hanya dapat dijadikan utang  sejauh perjanjian utangnya atapun pengikatan hipoteknya dibuat di Indonesia. Prinsip ini hanya berlaku terhadap jenis jaminan hipotek saja; tidak ada ketentuan yang memberlakukan prinsip teritorial tersebut untuk jenis jaminan-jaminan lain. Berlakunya prinsip tersebut didasarkan pada ketentuan dalam pasal 1173 KUH Perdata[26] yang melarang pembukuan atas hipotek yang terbit berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat di luar negeri, kecuali ada traktat yang menetukan sebaliknya.
b.      Prinsip Assessoir
Prinsip lain dari jaminan uang adalah prinsip assessoir. Maksudnya adalah setiap perjanjian jaminan utang merupakan buntutan/ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit itu sendiri.
Prinsip ini merupakan prinsip umum terhadap setiap jenis jaminan kredit, apapun bentuk dan jenis jaminan kredit tersebut. Dalam Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 Pasal 10 ayat (1) dengan tegas ditentukan berlakunya asas Assessoir.
Konsekuensi Yuridis atas berlakunya prinsip ini antara lain:
1)      Tidak ada perjnajian utang jika karena sebab apapun perjanjian kreditnya tidak eksis – baik karena kebatalan, pembatalan, ataupun putusnya perjanjian. Sebaliknya, eksistensi perjanjian kredit tidak terpengaruh dengan valid atau tidaknya perjanjian jaminan kredit.
2)      Tidak mungkin ada jaminan kredit atas kredit yang belum ada. Akibatnya, prinsip ini menjadi ganjalan dalam praktik: ada keraguan atas keabsahan akta hipotek yang telah dibuat dan ditandatangani atas suatu perjanjian kredit yang kelak akan dibuat, atau atas adendum yang kelak akan dibuat untuk memperngaruh terms and conditions suatu perjanjian kredit yang bersangkutan padahal hipotek telah terlebih dahulu ditetapkan.
Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dengan tetgas menyatakan bahwa hak tanggungan dapat diberikan baik atas utang yang telah ada ataupun yang belum ada, tetapi jika telah diperjanjikan dengan jumlah utang tertentu setidak-tidaknya pada saat eksekusi jaminan utang tersebut.



c.       Prinsip Hak Preferensi
Prinsip ini menyatakan bahwa pada umumnya pihak kreditor yang telah diberi jaminan kredit oleh debitor akan mempunyai hak atas jaminan pelunasan utang tersebut, artinya harus didahulukan dari pihak kreditor lainnya. Prinsip preferensi ini tidak hanya berlaku pada jaminan kredit, tetapi dalam beberapa hal juga terhadap jaminan utang yang bukan kredit.
Hak preferensi bersifat mutlak karena :
·         Tidak semua jaminan utang memberikan hak preferensi kepada kreditornya
·         Meskipun pihak kreditor memiliki hak preferensi, tidak tertutup kemungkinan masih ada jenis hak preferensi lainnya dari pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu jaminan dapat mempunyai hak preferensi: :
1)      Ada ketentuan dalam perundang-undangan yang dengan tegas menyatakan adanya hak preferensi tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.
2)      Utangnya sah
3)      Pelaksanaan hak preferensi tersebut harus sesuai dengan;
·         Klausul dalam perjanjian utang
·         Klausul dalam perjanjian jaminan
·         Peraturan perundang-undangan lainnya
4)      Terdapat syarat yang dikendaki oleh hukum agar terlindunginya pihak kreditor lain, yakni:
·         Adanya disclosure terhadap jaminan tersebut sehingga pihak kreditor lain dianggap mengetahuinya
·         Adanya pengamanan atas benda tersebut, sehingga pihak kreditoe dengan mudah dapat mengetahui adanya jaminan utang dengan hak preferensi tersebut.
5)      Pengikatan jaminan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.[27]

4.      Sistem Pengikatan Jaminan Utang

a.       Pengikatan Jaminan Di Bawah Tangan
Pada umumnya, pengikatan jaminan utang dibenarkan jika dibuat hany di bawah tangan, kecuali untuk jenis-jenis jaminan tertentu. Bahkan jaminan umumnya tidak dilarang untuk dibuat secara lisan. Hanya saja, demi menjaga kepastian hukum dan memiliki kekuatan pembuktian, pengikatan jaminan umumnya dibuat secara tertulis. Tetapi, untuk pengikatan jaminan kecil-kecilan, sering kali dalam praktik pengikatan gadainya hanya dengan menyerahkan barang gadai oleh si pemberi gadai kepada si penerima gadai tanpa adanya perjanjian tertulis apapun.
b.      Pengikatan Jaminan dengan Akta yang Notarial
Pengikatan jaminan utang dalam banyak hal tidak disyaratkan dengan akta notaris. Namun, pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuatnya. Akan tetapi, ada juga akta jaminan utang yang memang disyaratkan dibuat oleh notaris yang ditunjuk oelh undang-undang seperti “akta pengakuan utang” yang bersifat eksekutorial.
c.       Pengikatan Jaminan dengan Akta Pejabab Non-Notaris
Akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwenang tersebut mencakup notaris dan pejabat-pejabat lain selain notaris. Misalnya, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dan notaris sebagai pembuat akta jaminan fidusia.[28]




5.      Gugatan Perdata Utang Piutang
Penyelesaian sengketa di pengadilan dilakukan jika ada suatu perkara. Untuk mengajukan perkara utang piutang ke pengadilan, kreditur harus membuat surat gugatan yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan pasal 8 angka 3 Rv, surat gugatan berisi tiga hal, yaitu para pihak yang berperkara, posita dan tuntutan.
Para pihak yang berperkara harus ditulis dengan jelas dan lengkap identitasnya, agar juru sita pengadilan dapat dengan mudah melaksanakan panggilan sidang. Bagian posita untuk gugatan utang pitang berisi tentang kejadian peristiwa perjanjianutang piutang yang menguraikan  hak dan kewajiban penggugat sebagai kreditur dan tergugat sebagai debitur.
Pokok gugatan yang dapat dituntut oleh penggugat adalah:
a.       Perjanjian utang piutang sah menurut hukum
b.      Perbuatan tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi
c.       Tergugat dituntut untuk membayar utang dan bunganya
d.      Tergugat dihukum membayar biaya perkara
Agar tergugat dapat dipaksa membayar secepatnya dalam hukum acara perdata dikenal putusan serta merta yaitu putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan, banding ataupun kasasi.
Untuk dapat mengajukan putusan serta-merta, dasar hukumnya adalah pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg., dengan syarat-syarat sebagai berikut :
·         Ada surat autentik yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan sebagai bukti
·         Ada putusan yang mempunyai kekuatan pasti sebelumnya yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan pihak yang bersangkutan[29]

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.
Yang termasuk ke dalam lembaga jaminan antara lain : Gadai, fidusia, dan hipotek.
Jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor atas pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitor, di mana hal ini terjadi karena hukum ataupun terbit dari suatu perjanjian yang bersifat assessoir terhadap perjanjian pokoknya-berupa perjanjian yang menerbitkan utang-piutang
B.     SARAN
Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi Hukum Jaminan. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan kemampuan penulis dalam menulis makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya, juga para pembaca yang budiman pada umumnya.





DAFTAR PUSTAKA
Martono, H.K. dan Agus Pramono. 2013. Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional. Jakarta: _____Rajawali Pers.
Supramono, Gatot. 2013. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: Kencana.
Fuady, Munir. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Erlangga.
Vollmar, H.F.A. 1996. Pengantar Studi Hukum Perdata. terj. Jakarta: Raja Grafindo.
Subekti, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Balai Pustaka


[1] H.K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm., 244.
[2] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Erlangga, 2013) , hlm., 8-16.
[3] Pasal 1131 KUH Perdata Bab ke sembilan belas tentang piutang-piutang yang diistimewakan berbunyi “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
[4] Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.,59.
[5] H.K. Martono dan Agus Pramono, Op. Cit, hlm., 249.
[6] Assessoir yaitu perjanjian tambahan yang berlaku pada perjanjian pokok.
[7] Munir Fuadi,Op. Cit, hlm., 152.
[8] Pasal 1177 KUH Perdata Bab ke dua puluh Tentang Gadai: “ Tak dapatlah sekali-kali si berpiutang menuntut penambahan hipotik, kecuali apabila telah diperjanjikan atau ditetapkan sebaliknya dalam undang-undang.”
[9]  H.F.A Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm., 310.
[10] Pasal 1150 KUH Perdata “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oelh kreditor atas benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitor, atau atas kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditor untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendaului kreditor-kreditor lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan piutang atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.
[11] Pasal 509 KUH Perdata “Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan; di samping itu barang yang bergerak karena ketentuan Undang-undang disebutkan secara rinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.”
[12] H.K. Martono dan Agus Pramono, Op. Cit, hlm., 249.
[13] Gatot Supramono, Op. Cit, hlm., 65.
[14] Munir Fuadi,Op. Cit, hlm., 101-102.
[15] H.K. Martono dan Agus Pramono, Op. Cit, hlm., 248.
[16] Gatot Supramono, Op. Cit, hlm., 39.
[17] Ibid, hlm., 250.
[18] Munir Fuadi, Op. Cit, hlm., 164.
[19] H.F.A Vollmar, Op. Cit, hlm., 328.
[20] Munir Fuadi,Op. Cit, hlm., 164.
[21] Ibid, hlm., 68-69.
[22] Ibid, hlm., 2.
[23] H.K. Martono dan Agus Pramono, Op. Cit, hlm., 243-244.
[24] Munir Fuadi, Op. Cit, hlm., 8.
[25] Gatot Supramono, Op. Cit, hlm. 147.
[26] Pasal 1173 KUH Perdata berbunyi “tidak bolehlah berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat di suatu negeri asing dilakukan pembukuan hipotek atas benda-benda yang terletak di wilayah Indonesia, kecuali apabila di dalam suatu traktat telah ditentukan sebaliknya.”
[27] Munir Fuadi, Op. Cit, hlm., 19-21.
[28] Munir Fuady, Op. Cit, hlm., 34-38.
[29] Gatot Supramono, Op. Cit, hlm. 150-153.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ushul Fiqh : Ta'arudh al-adillah

FIQH MAWARIS; TAKHARRUJ

Makalah Sejarah Islam Asia Tenggara : Islam di Thailand