makalah fiqh zakat; hikmah dan adab zakat

Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623



BAB I
PEMBAHASAN
A.    LATAR BELAKANG
Zakat merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim yang  mulai disyariatkan pada tahun 2 hijriayah. Dalam zakat terdapat berbagai hikmah dan keutamaan baik bagi diri orang yang memberi zakat maupun bagi umat islam secara keseluruhan. Selain itu, dalam melaksanakan zakat terdapat beberapa tata cara dan adab-adab yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang terlibat dalam zakat tersebut.
Untuk itu, kami sebagai pemakalah mengambil judul makalah kami “Hikmah dan adab zakat” untuk membahas secara sederhana tentang hikmah zakat dan adab-adab dalam berzakat. Di sisi lain, latar belakang pemakalah menyajikan judul makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas kelompok makalah yang telah diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah fiqh zakat. Hal ini berguna untuk menambah wawasan mahasiswa tentang hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-quran serta tentang adab dalam memberi dan menerima zakat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-Qur’an?
2.      Bagaimana adab dalam memberi dan menerima zakat?

C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-Qur’an.
2.      Untuk  mengetahui adab-adab dalam memberi dan menerima zakat.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    HIKMAH DAN KEUTAMAAN ZAKAT DALAM AL-QURAN
Zakat merupakan bagian dari rukun islam. Allah mewajibkannya di tahun ke-2 Hijriyah. Tujuan disyariatkannya zakat di antaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Seperti dalam firman-Nya,
 .......كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ....
“....supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...” (Q.S. Al-Hasyr : 7).[1]
Berikut adalah hikmah membayar zakat yang terdapat di dalam Al-quran:
1)    Orang yang berderma di jalan Allah, ia akan memetik buah infaknya dengan hasil yang berlipat ganda. Dan pertumbuhan yang dipahami dari ayat di atas mencakup pahala yang berlipat ganda dan harta benda yang melimpah karena zakat.[2]
عَنْ أبُو مُوْ سَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذَا جَاءَهُ السَّا ىِٔلُ أوْ طُلِبَتْ إِلَيْهِ حَا جَۃٌ قاَلَ : اشْفَعُوا تُٶْاوَيَقْضِي اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّه  صلى الله عليه وسلم مَا شَاءَ                     
Abu Musa berkata berkata, “Rasulullah SAW jika didatangi oleh orang yang meminta Beliau bersabda: ‘Bersedekah kalian, pasti kalian akan dibalas dan Allah memenuhi atas ucapan Nabi-Nya dengan kehendak-Nya.’” ( Hadist Riwayat Bukhari : 1432).[3]
Imam Syafi’i berkata: Dari Abu Hurairah RA, saya mendengar Abu Qasim SAW bersabda yang artinya,” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya (demi Allah), seorang hamba yang bersedekah (mengeluarkan zakat) dari hasil usahanya yang baik; dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik saja, dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik-baik saja, maka hamba tersebut seolah-olah seperti meletakkan sedekahnya di tangan Ar-Rahman (Allah) kemudian Allah mengurus harta sedekah tersebut sebagaimana kalian mengurus anak kuda kalian. Sehingga sedekah yang hanya sesuap, nanti pada hari kiamat, akan menjadi sebesar gunung. “Kemudian beliau membacakan sebuah ayat.
أَلَمۡ يَعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ يَقۡبَلُ ٱلتَّوۡبَةَ عَنۡ عِبَادِهِۦ وَيَأۡخُذُ ٱلصَّدَقَٰتِ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ۞
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah (9): 104).[4]
2)    Adapun hikmahnya yang terkandung dalam kewajiban zakat itu di antaranya adalah untuk membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat sombong dan kikir serta membersihkan hartanya dari bercampur baurnya dengan hak orang lain,seperti dikatakan Allah dalam surat al-Taubah ayat 103:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۞
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Zakat merupakan pembersih bagi jiwa orang yang menunaikannya dari kotoran dosa, demikian juga menyucikan perangai mereka, dengan berbudi pekerti, dermawan serta meninggalkan bakhil atas harta benda.
Karena nafsu terpikat untuk bakhil terhadap harta, maka jiwanya terbiasa dengan toleransi dan gemar menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada orang yang berhak menerimanya. Semua itu terkandung dalam Q.S. At-Taubah : 103.[5]
Selain itu, Allah juga memperjelas makna dan tujuan dari zakat dalam firman-Nya Q.S. Al-Lail ayat 18;
 ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨
Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.”
3)    Hikmah zakat mencegah kebakhilan, ketahuilah bahwa nafsu cendurung pada ketamakan, sehingga zakat dijadikan sebagai latihan jiwa dan ujian bagi mereka agar sedikit demi sedikit nafsu bisa berubah menjadi dermawan. Karena nafsu pada harta benda lebih mulia dari-Nya, artinya nafsu lebih mencintai harta benda melebihi cinta nafsu terhadap dirinya sendiri. Karena, tabiat manusia lebih cendurung pada perhiasan kehidupan dunia. Dengan tabiat itu, kecondongan manusia terhadap harta benda melebihi segala sesuatu. Pasalnya, jika kamu memberikan zakat, berjuang melawan nafsumu dan melatihnya untuk dermawan, maka sifat dermawan merupakan  buah dari kesempurnan iman.[6]
Zakat juga berguna untuk mencegah kejahatan-kejahatan atau kebakhilan yang akan timbul dari orang-orang miskin dan lemah. Banyak orang yang berjuang untuk hidup hingga orang yang baik-baik terpaksa harus menjadi penjahat guna untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Selain itu, banyak di antara masyarakat kita yang mempergunakan hartanya tidak untuk kebaikan, melainkan untuk merusak dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara..[7]
Kikir termasuk bagian dari godaan duniawi, demikian pula halnya sifat boros. Sedangkan, hati seorang Muslim haruslah terbebas dari keduanya yang merupakan sumber dosa dan cela. Kita tidak boleh terlalu condong kepada harta atau terlalu berambisi untuk menyimpannya maupun membelanjakannya. Padahal kesempurnaan hati haruslah terbebas dari kedua kecenderungan ini.[8]
4)    Hikmah adil dalam mengeluarkan zakat. Jika kita tidak menunaikannya dengan harta halal yang dikaruniakan oleh Allah, maka zakat itu tidak dikabulkan,dan bisa berdosa. Arti dikabulkan disini ialah kepastianmu terhadap zakat hingga kamu mengeluarkannya. Apabila dari sisi kearifan nafsu mengeluarkan zakat dari rezeki yang halal, maka kamu telah bersikap adil. Seperti nash yang terdapat dalam Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(Q.S Al-Baqarah : 267).
Ada juga hikmah lain, yaitu bahwa seseorang jika telah menunaikan zakat dari harta halal, maka ia akan merasa puas dan lega atas perbuatannya. Ini termasuk hakikat dermawan dalam makna yang benar.[9]



B.     ADAB MEMBERI DAN MENERIMA ZAKAT

Ø  Adab memberi zakat
Di Indonesia, kita bisa menghubungi lembaga-lembaga amil zakat terpercaya atau langsung memberikannya kepada orang yang kita anggap pantas menerimanya.[10]
a)      Niat yang ikhlas hanya karena Allah
Allah berfirman sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Lail ayat ke 17-21;
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى ١٧  ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ ١٩  إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٠  وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ٢١
            “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,(17) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (18) padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,(19) tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. (20) Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan (21)”.
            Al-Hasan Al-Bashri pernah menyatakan, “Manusia masuk surga atau neraka selama-lamanya bergantung  pada kebajikan niatnya.”[11] Dalam hal ini, niat diwaibkan untuk membedakan antara sedekah wajib (zakat) dengan sedekah sunnah (infaq), serta membedakan zakat dengan kewajiban-kewajiban lainnya. Si pembayar zakat menghadirkan niat itu ketika ia memberikan zakat kepada para mustahik zakat.[12]

b)      Memilih dan mengeluarkan yang terbaik dan yang paling disukai dari hartanya.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran 92;
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Abu Hurairah berkata, “ Rasulullah SAW bersabda: ‘Tak ada suatu sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang dari yang baik dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang baik, kecuali Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, meskipun hanya berupa kurma yang kemudian menjadi berkembang di tangan Allah Ta’ala sampai menjadi lebih dari gunung, sebagaimana salah seorang di antara kalian mengembangkan tanamannya.’” (Hadist Riwayat Bukhari :1442, Muslim : 1010).[13]
c)      Memilih dan mengeluarkan yang terbaik dan yang paling disukai dari hartanya
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَرْجِعُ فِي صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang mengambil kembali sedekahnya, seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia menjilat dan memakan kembali muntahannya.” (HR. Muslim : 1622)


d)     Menyegerakan membayar zakat.
Apabila syarat-syarat wajib berzakat telah terpenuhi, maka orang tersebut diwajibkan untuk menyegerakan membayar zakat tanpa menundanya. Jika ia menundanya tanpa alasan yang sesuai dengan syariat, maka ia berdosa karena menahan hak mustahik. Zakat tetap harus ia keluarkan karena itu merupakan hutang kepada Allah yang harus ia tunaikan.[14]
Dalam firman-Nya dalam QS. al-Munafiqun ayat ke 10;
وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ١٠
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.”
e)      Mengeluarkan zakat dengan tersenyum dan wajah berseri serta dengan keridhaan
 “Dari Jarir bin Abdullah ia berkata; Beberapa orang Arab dusun datang mengadu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, “Beberapa petugas zakat mendatangi kami, lalu mereka bertindak aniaya terhadap kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Layanilah para petugas zakat itu dengan baik.” Jabir berkata, “Semenjak itu aku tidak pernah lagi mendengar para petugas zakat pulang melainkan dengan puas dan senang.” (Hadist Riwayat Muslim: 989)
f)       Merahasiakannya
Menurut madhab Hanafi ini adalah yang utama karena bisa menjauhkan diri dari riya dan tidak menghinakan orang fakir. Sedangkan menurut Madhab Syafi’i dan Hambali yang paling utama adalah menampakkannya supaya menjadi contoh dan menghilangkan su’udzan. Adapun tentang shadaqah sunnah maka sepakat para ulama yang utama adalah merahasiakannya.  Namun dikhawatirkan, apabila memberikan secara terang-terangan akan berdampak kepada perbuatan riya. Sebagaimana dalam firman Allah, Q.S. Al-Baqarah 271;
إِن تُبۡدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۖ وَإِن تُخۡفُوهَا وَتُؤۡتُوهَا ٱلۡفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّ‍َٔاتِكُمۡۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٧١
            Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[15]
g)      Bersyukur pada Allah atas nikmat harta dan infak serta menjauhkan diri dari kesombongan dan ujub
h)      Tidak menganggap besar apa yang disodaqahkan dan menganggap kecil apa yang diberikan agar terhindar dari kesombongan



i)        Tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih.
Firman-Nya dalam QS. Al-Insan: 9
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا ٩ 
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
j)        Berdoa ketika menyerahkan zakat
اللّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًاولَاتَجْعَلْهَامَغْرَمًا
“Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian.”

Ø  Adab-Adab Bagi Para Mustahik
a.)  Menerima zakat dengan lapang dada dan penuh rasa syukur.[16]
Sebagaimana firman Allah swt. yang termaktub dalam QS. at-Taubah : 58.
وَمِنۡهُم مَّن يَلۡمِزُكَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنۡ أُعۡطُواْ مِنۡهَا رَضُواْ وَإِن لَّمۡ يُعۡطَوۡاْ مِنۡهَآ إِذَا هُمۡ يَسۡخَطُونَ ٥٨
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”
b.)  Mendo’akan kepada para muzakki dan para pengelola zakat
            Abdullah ibnu Abi Aufa berkata,”Jika datang kepada Nabi Saw kaum dengan membawa zakatnya, Beliau mengucapkan ;  اللّهُمَّ صَلِّی عَلَی آلِ فُلان    ‘Ya Allah limpahkanlah Shalawat atas keluarga fulan,’ suatu kali ayahku datang dengan membawa zakatnya kepada Beliau, lalu Beliau mengucapkan ; اللّهُمَّ صَلِّی عَلَی أبي أَوْفَی   ‘Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Abu Aufa.’”[17]
            Imam Syafi’i berkata : Ketika seorang petugas zakat atau penerima zakat menerima harta zakat dari seseorang, ia harus mendoakan orang tersebut. Dalam hal ini aku menyukai apabila ia berdoa dengan kalimat, آجَرَكَ اللهُ فِيْمَاأَعْطَيْتَ وَبَارَكَ اللهُ فِيْمَاأَبْقَيْتَ   ”Semoga Allah swt memberikan pahala pada apa yang anda berikan. Dan, semoga Allah memberkahi harta anda yang lainnya.”[18]
c.)   Mempergunakan harta zakat  untuk kebaikan.






BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Zakat merupakan bagian dari rukun islam. Allah mewajibkannya di tahun ke-2 Hijriyah. Tujuan disyariatkannya zakat di antaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja serta untuk menjaga harta, hati dan jiwa masyarakat Muslim lebih tenang, damai, dan suci sehingga timbullah masyarakat Muslim yang lebih sejahtera.
Dalam hal tata cara dan adab dalam berzakat, yang harus diperhatikan antara lain; niat, tidak untuk menyakiti siapapun, tidak riya, dan yang menerima juga harus mensyukuri atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya melalui perantara orang yang memberi zakat itu, serta saling mendoakan; baik yang memberi dan terlebih bagi yang menerima, harus mengucapkan do’a ketika berzakat.
B.     SARAN
Setelah memahami isi makalah tentang hikmah dari zakat serta adab-adabnya, diharapkan kita sebagai mahasiswa Islam dapat menerapkan dan membagikan ilmu tentang tata cara dan hikmah zakat mengingat masih banyak di luar sana masyarakat awam yang belum mengerti tentang zakat itu sendiri. Selain itu, kita juga harus membiasakan diri kita untuk berzakat jika memang sudah waktunya sesuai dengan tata cara dan adab yang telah dipelajari agar kita dapat meraih hikmah yang terkandung di dalam zakat tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kreasindo.
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi. 2006. Indahnya Syariat Islam. terj. Jakarta: Gema Insani _____Press.
Muhammad Khalid ‘Abri. 2012. Kebiasaan Rasulullah. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
Imam Syafi’i. 2005.Ringkasan kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam.
Sulaiman Rasjid. 2012. Fiqh Islam. cet. Ke-56. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Ghazali. 2013. Metode Menaklukkan Jiwa. terj. Bandung: Mizan.
Muhaimin Iqbal. 2008. Dinar Solution. Jakarta: Gema Insani.
Al-Ghazali. 2003. Ihya’ Ulumuddin. terj. Semarang: Asy Syifa’.



[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kreasindo, 2003), hlm. 39.
[2] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam,terj, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 172.
[3] Muhammad Khalid ‘Abri, Kebiasaan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2012), hlm. 288.
[4] Imam Syafi’i, Ringkasan kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 482-483.
[5] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op. Cit, hlm. 174.
[6] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op. Cit, hlm. 177.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. Ke-56, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), hlm. 218.
[8] Al-Ghazali, Metode Menaklukkan Jiwa, terj, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 97.
[9] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op. Cit, hlm. 179-180.
[10] Muhaimin Iqbal, Dinar Solution,(Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 157.
[11] Al-Ghazali, Op. Cit, hlm. 27.
[12] El Madani, Fiqh Zakat Lengkap, (Jogjakarta: Diva Press, 2013), hlm. 188.
[13] Muhammad Khalid ‘Abri, Op. Cit, hlm. 291.
[14] El Madani, Op. Cit, hlm. 183-186.
[15] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op. Cit, hlm 174.
[16]Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terj, (Semarang: Asy Syifa’, 2003), hlm. 53.
[17] Muhammad Khalid ‘Abri, Op. Cit, hlm.287.
[18] Imam Syafi’i, Op. Cit, hlm. 481.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ushul Fiqh : Ta'arudh al-adillah

FIQH MAWARIS; TAKHARRUJ

Makalah Sejarah Islam Asia Tenggara : Islam di Thailand