makalah fiqh zakat; hikmah dan adab zakat
Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623
BAB I
Hub : 081378337623
BAB I
PEMBAHASAN
A.
LATAR BELAKANG
Zakat merupakan kewajiban bagi
setiap umat muslim yang mulai
disyariatkan pada tahun 2 hijriayah. Dalam zakat terdapat berbagai hikmah dan
keutamaan baik bagi diri orang yang memberi zakat maupun bagi umat islam secara
keseluruhan. Selain itu, dalam melaksanakan zakat terdapat beberapa tata cara
dan adab-adab yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang terlibat dalam
zakat tersebut.
Untuk itu, kami sebagai pemakalah
mengambil judul makalah kami “Hikmah dan adab zakat” untuk membahas secara
sederhana tentang hikmah zakat dan adab-adab dalam berzakat. Di sisi lain,
latar belakang pemakalah menyajikan judul makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas kelompok makalah yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
mata kuliah fiqh zakat. Hal ini berguna untuk menambah wawasan mahasiswa
tentang hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-quran serta tentang adab dalam
memberi dan menerima zakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana
adab dalam memberi dan menerima zakat?
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui hikmah dan keutamaan zakat dalam Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui adab-adab dalam memberi dan
menerima zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HIKMAH DAN KEUTAMAAN ZAKAT DALAM AL-QURAN
Zakat merupakan
bagian dari rukun islam. Allah mewajibkannya di tahun ke-2 Hijriyah. Tujuan disyariatkannya
zakat di antaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan
orang-orang kaya saja. Seperti dalam firman-Nya,
.......كَيۡ
لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ....
“....supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...” (Q.S. Al-Hasyr : 7).[1]
Berikut adalah
hikmah membayar zakat yang terdapat di dalam Al-quran:
1)
Orang yang
berderma di jalan Allah, ia akan memetik buah infaknya dengan hasil yang
berlipat ganda. Dan pertumbuhan yang dipahami dari ayat di atas mencakup pahala
yang berlipat ganda dan harta benda yang melimpah karena zakat.[2]
عَنْ
أبُو مُوْ سَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إذَا جَاءَهُ السَّا ىِٔلُ أوْ طُلِبَتْ إِلَيْهِ حَا جَۃٌ قاَلَ : اشْفَعُوا
تُٶْاوَيَقْضِي اللهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّه
صلى الله عليه وسلم مَا شَاءَ
Abu
Musa berkata berkata, “Rasulullah SAW jika didatangi oleh orang yang meminta
Beliau bersabda: ‘Bersedekah kalian,
pasti kalian akan dibalas dan Allah memenuhi atas ucapan Nabi-Nya dengan
kehendak-Nya.’” ( Hadist Riwayat Bukhari : 1432).[3]
Imam Syafi’i berkata: Dari Abu
Hurairah RA, saya mendengar Abu Qasim SAW bersabda yang artinya,” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya
(demi Allah), seorang hamba yang bersedekah (mengeluarkan zakat) dari hasil
usahanya yang baik; dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik saja,
dan tidak akan naik ke langit kecuali yang baik-baik saja, maka hamba tersebut
seolah-olah seperti meletakkan sedekahnya di tangan Ar-Rahman (Allah) kemudian
Allah mengurus harta sedekah tersebut sebagaimana kalian mengurus anak kuda kalian.
Sehingga sedekah yang hanya sesuap, nanti pada hari kiamat, akan menjadi
sebesar gunung. “Kemudian beliau membacakan sebuah ayat.
أَلَمۡ
يَعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ يَقۡبَلُ ٱلتَّوۡبَةَ عَنۡ عِبَادِهِۦ وَيَأۡخُذُ
ٱلصَّدَقَٰتِ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ۞
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah (9): 104).[4]
2)
Adapun
hikmahnya yang terkandung dalam kewajiban zakat itu di antaranya adalah untuk
membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat sombong dan kikir serta
membersihkan hartanya dari bercampur baurnya dengan hak orang lain,seperti
dikatakan Allah dalam surat al-Taubah ayat 103:
خُذۡ
مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۞
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Zakat merupakan
pembersih bagi jiwa orang yang menunaikannya dari kotoran dosa, demikian juga
menyucikan perangai mereka, dengan berbudi pekerti, dermawan serta meninggalkan
bakhil atas harta benda.
Karena nafsu
terpikat untuk bakhil terhadap harta, maka jiwanya terbiasa dengan toleransi
dan gemar menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada orang yang berhak
menerimanya. Semua itu terkandung dalam Q.S. At-Taubah : 103.[5]
Selain itu,
Allah juga memperjelas makna dan tujuan dari zakat dalam firman-Nya Q.S. Al-Lail
ayat 18;
ٱلَّذِي
يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨
“Yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.”
3)
Hikmah zakat
mencegah kebakhilan, ketahuilah bahwa nafsu cendurung pada ketamakan, sehingga
zakat dijadikan sebagai latihan jiwa dan ujian bagi mereka agar sedikit demi
sedikit nafsu bisa berubah menjadi dermawan. Karena nafsu pada harta benda
lebih mulia dari-Nya, artinya nafsu lebih mencintai harta benda melebihi cinta
nafsu terhadap dirinya sendiri. Karena, tabiat manusia lebih cendurung pada
perhiasan kehidupan dunia. Dengan tabiat itu, kecondongan manusia terhadap
harta benda melebihi segala sesuatu. Pasalnya, jika kamu memberikan zakat,
berjuang melawan nafsumu dan melatihnya untuk dermawan, maka sifat dermawan
merupakan buah dari kesempurnan iman.[6]
Zakat juga
berguna untuk mencegah kejahatan-kejahatan atau kebakhilan yang akan timbul
dari orang-orang miskin dan lemah. Banyak orang yang berjuang untuk hidup
hingga orang yang baik-baik terpaksa harus menjadi penjahat guna untuk
mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Selain itu, banyak di antara
masyarakat kita yang mempergunakan hartanya tidak untuk kebaikan, melainkan
untuk merusak dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara..[7]
Kikir termasuk
bagian dari godaan duniawi, demikian pula halnya sifat boros. Sedangkan, hati
seorang Muslim haruslah terbebas dari keduanya yang merupakan sumber dosa dan
cela. Kita tidak boleh terlalu condong kepada harta atau terlalu berambisi
untuk menyimpannya maupun membelanjakannya. Padahal kesempurnaan hati haruslah
terbebas dari kedua kecenderungan ini.[8]
4)
Hikmah adil
dalam mengeluarkan zakat. Jika kita tidak menunaikannya dengan harta halal yang
dikaruniakan oleh Allah, maka zakat itu tidak dikabulkan,dan bisa berdosa. Arti
dikabulkan disini ialah kepastianmu terhadap zakat hingga kamu mengeluarkannya.
Apabila dari sisi kearifan nafsu mengeluarkan zakat dari rezeki yang halal,
maka kamu telah bersikap adil. Seperti nash yang terdapat dalam Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ
أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ
تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”(Q.S Al-Baqarah : 267).
Ada juga hikmah
lain, yaitu bahwa seseorang jika telah menunaikan zakat dari harta halal, maka
ia akan merasa puas dan lega atas perbuatannya. Ini termasuk hakikat dermawan
dalam makna yang benar.[9]
B.
ADAB MEMBERI
DAN MENERIMA ZAKAT
Ø Adab memberi zakat
Di Indonesia,
kita bisa menghubungi lembaga-lembaga amil zakat terpercaya atau langsung
memberikannya kepada orang yang kita anggap pantas menerimanya.[10]
a)
Niat yang ikhlas hanya
karena Allah
Allah
berfirman sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Lail ayat ke 17-21;
وَسَيُجَنَّبُهَا
ٱلۡأَتۡقَى ١٧ ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ
يَتَزَكَّىٰ ١٨ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ ١٩ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ
٢٠ وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ٢١
“Dan
kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,(17) yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (18) padahal tidak
ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,(19)
tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang
Maha Tinggi. (20) Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan (21)”.
Al-Hasan Al-Bashri pernah
menyatakan, “Manusia masuk surga atau neraka selama-lamanya bergantung pada kebajikan niatnya.”[11]
Dalam hal ini, niat diwaibkan untuk membedakan antara sedekah wajib (zakat)
dengan sedekah sunnah (infaq), serta membedakan zakat dengan
kewajiban-kewajiban lainnya. Si pembayar zakat menghadirkan niat itu ketika ia
memberikan zakat kepada para mustahik
zakat.[12]
b)
Memilih dan mengeluarkan
yang terbaik dan yang paling disukai dari hartanya.
Firman Allah
dalam QS. Ali Imran 92;
لَن
تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن
شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Abu Hurairah berkata, “
Rasulullah SAW bersabda: ‘Tak ada suatu sedekah
yang dikeluarkan oleh seseorang dari yang baik dan Allah Ta’ala tidak menerima
kecuali yang baik, kecuali Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, meskipun
hanya berupa kurma yang kemudian menjadi berkembang di tangan Allah Ta’ala
sampai menjadi lebih dari gunung, sebagaimana salah seorang di antara kalian
mengembangkan tanamannya.’” (Hadist Riwayat Bukhari :1442, Muslim : 1010).[13]
c)
Memilih dan mengeluarkan
yang terbaik dan yang paling disukai dari hartanya
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَرْجِعُ فِي صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ
يَعُودُ فِي قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ
“Dari Ibnu
Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang
mengambil kembali sedekahnya, seperti seekor anjing yang muntah kemudian ia
menjilat dan memakan kembali muntahannya.” (HR.
Muslim : 1622)
d)
Menyegerakan membayar zakat.
Apabila syarat-syarat wajib berzakat telah terpenuhi, maka orang tersebut
diwajibkan untuk menyegerakan membayar zakat tanpa menundanya. Jika ia
menundanya tanpa alasan yang sesuai dengan syariat, maka ia berdosa karena
menahan hak mustahik. Zakat tetap
harus ia keluarkan karena itu merupakan hutang kepada Allah yang harus ia
tunaikan.[14]
Dalam
firman-Nya dalam QS. al-Munafiqun ayat ke 10;
وَأَنفِقُواْ
مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ
رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
١٠
“Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.”
e)
Mengeluarkan zakat dengan
tersenyum dan wajah berseri serta dengan keridhaan
“Dari Jarir bin Abdullah ia berkata; Beberapa
orang Arab dusun datang mengadu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka
berkata, “Beberapa petugas zakat mendatangi kami, lalu mereka bertindak aniaya
terhadap kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Layanilah
para petugas zakat itu dengan baik.” Jabir berkata, “Semenjak itu aku tidak
pernah lagi mendengar para petugas zakat pulang melainkan dengan puas dan
senang.” (Hadist Riwayat Muslim: 989)
f)
Merahasiakannya
Menurut
madhab Hanafi ini adalah yang utama karena bisa menjauhkan diri dari riya dan
tidak menghinakan orang fakir. Sedangkan menurut Madhab Syafi’i dan Hambali
yang paling utama adalah menampakkannya supaya menjadi contoh dan menghilangkan
su’udzan. Adapun tentang shadaqah sunnah maka sepakat para ulama yang utama
adalah merahasiakannya. Namun
dikhawatirkan, apabila memberikan secara terang-terangan akan berdampak kepada
perbuatan riya. Sebagaimana dalam firman Allah, Q.S. Al-Baqarah 271;
إِن
تُبۡدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۖ وَإِن تُخۡفُوهَا وَتُؤۡتُوهَا ٱلۡفُقَرَآءَ
فَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَئَِّاتِكُمۡۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٧١
“Jika kamu
menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[15]
g)
Bersyukur pada Allah atas
nikmat harta dan infak serta menjauhkan diri dari kesombongan dan ujub
h)
Tidak menganggap besar apa
yang disodaqahkan dan menganggap kecil apa yang diberikan agar terhindar dari
kesombongan
i)
Tidak mengharapkan balasan
dan ucapan terima kasih.
Firman-Nya
dalam QS. Al-Insan: 9
إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ
لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا ٩
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.”
j)
Berdoa ketika menyerahkan
zakat
اللّهُمَّ
اجْعَلْهَا مَغْنَمًاولَاتَجْعَلْهَامَغْرَمًا
“Ya
Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau
menjadikannya sebagai kerugian.”
Ø
Adab-Adab Bagi Para Mustahik
a.) Menerima zakat dengan lapang dada dan penuh
rasa syukur.[16]
Sebagaimana
firman Allah swt. yang termaktub dalam QS. at-Taubah : 58.
وَمِنۡهُم
مَّن يَلۡمِزُكَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنۡ أُعۡطُواْ مِنۡهَا رَضُواْ وَإِن لَّمۡ
يُعۡطَوۡاْ مِنۡهَآ إِذَا هُمۡ يَسۡخَطُونَ ٥٨
“Dan di
antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka
diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak
diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.”
b.) Mendo’akan kepada para muzakki dan para
pengelola zakat
Abdullah ibnu Abi Aufa
berkata,”Jika datang kepada Nabi Saw kaum
dengan membawa zakatnya, Beliau mengucapkan ;
اللّهُمَّ
صَلِّی عَلَی آلِ فُلان ‘Ya Allah limpahkanlah
Shalawat atas keluarga fulan,’ suatu kali
ayahku datang dengan membawa zakatnya kepada Beliau, lalu Beliau mengucapkan ; اللّهُمَّ صَلِّی عَلَی أبي أَوْفَی ‘Ya Allah limpahkanlah shalawat atas Abu
Aufa.’”[17]
Imam Syafi’i berkata : Ketika
seorang petugas zakat atau penerima zakat menerima harta zakat dari seseorang,
ia harus mendoakan orang tersebut. Dalam hal ini aku menyukai apabila ia berdoa
dengan kalimat, آجَرَكَ اللهُ فِيْمَاأَعْطَيْتَ وَبَارَكَ اللهُ
فِيْمَاأَبْقَيْتَ ”Semoga
Allah swt memberikan pahala pada apa yang anda berikan. Dan, semoga Allah
memberkahi harta anda yang lainnya.”[18]
c.)
Mempergunakan harta zakat untuk
kebaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Zakat merupakan bagian dari rukun islam. Allah mewajibkannya di
tahun ke-2 Hijriyah. Tujuan disyariatkannya zakat di antaranya adalah untuk
jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja serta untuk
menjaga harta, hati dan jiwa masyarakat Muslim lebih tenang, damai, dan suci
sehingga timbullah masyarakat Muslim yang lebih sejahtera.
Dalam hal tata cara dan adab dalam berzakat, yang harus
diperhatikan antara lain; niat, tidak untuk menyakiti siapapun, tidak riya, dan
yang menerima juga harus mensyukuri atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya
melalui perantara orang yang memberi zakat itu, serta saling mendoakan; baik
yang memberi dan terlebih bagi yang menerima, harus mengucapkan do’a ketika
berzakat.
B.
SARAN
Setelah
memahami isi makalah tentang hikmah dari zakat serta adab-adabnya, diharapkan
kita sebagai mahasiswa Islam dapat menerapkan dan membagikan ilmu tentang tata
cara dan hikmah zakat mengingat masih banyak di luar sana masyarakat awam yang
belum mengerti tentang zakat itu sendiri. Selain itu, kita juga harus
membiasakan diri kita untuk berzakat jika memang sudah waktunya sesuai dengan
tata cara dan adab yang telah dipelajari agar kita dapat meraih hikmah yang
terkandung di dalam zakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kreasindo.
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi. 2006. Indahnya Syariat Islam. terj. Jakarta:
Gema Insani _____Press.
Muhammad Khalid ‘Abri. 2012. Kebiasaan Rasulullah. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
Imam Syafi’i. 2005.Ringkasan kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam.
Sulaiman Rasjid. 2012. Fiqh Islam. cet. Ke-56. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Ghazali. 2013. Metode Menaklukkan Jiwa. terj.
Bandung: Mizan.
Muhaimin Iqbal. 2008. Dinar Solution. Jakarta: Gema Insani.
Al-Ghazali. 2003. Ihya’
Ulumuddin. terj. Semarang: Asy Syifa’.
[1]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,
(Jakarta: Kreasindo, 2003), hlm. 39.
[2] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam,terj, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hlm. 172.
[3] Muhammad Khalid ‘Abri, Kebiasaan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2012), hlm. 288.
[4] Imam Syafi’i, Ringkasan kitab Al-Umm, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2005), hlm. 482-483.
[5] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op.
Cit, hlm. 174.
[6] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op.
Cit, hlm. 177.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. Ke-56, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2012), hlm. 218.
[8]
Al-Ghazali, Metode Menaklukkan Jiwa, terj, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 97.
[9] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Op.
Cit, hlm. 179-180.
[10]
Muhaimin Iqbal, Dinar Solution,(Jakarta:
Gema Insani, 2008), hlm. 157.
[11]
Al-Ghazali, Op. Cit, hlm. 27.
[12]
El Madani, Fiqh Zakat Lengkap,
(Jogjakarta: Diva Press, 2013), hlm. 188.
[13]
Muhammad Khalid ‘Abri, Op.
Cit, hlm. 291.
[14]
El Madani, Op. Cit, hlm. 183-186.
[15]
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi,
Op. Cit, hlm 174.
[16]Al-Ghazali,
Ihya’ Ulumuddin, terj, (Semarang: Asy
Syifa’, 2003), hlm. 53.
[17]
Muhammad Khalid ‘Abri, Op.
Cit, hlm.287.
[18]
Imam Syafi’i, Op. Cit, hlm.
481.
Komentar
Posting Komentar