FIQH MAWARIS; TAKHARRUJ
Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623
BAB I
Hub : 081378337623
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Takharuj adalah salah satu permasalahan
dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta
warisan. Kedua permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad.
Hal ini timbul menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa
yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu
menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad.
Dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang ada di antara ahli waris yang
kurang berkenan menerima harta yang ada karena kurang sesuai dengan
kebutuhannya, jika hal ini terjadi, maka harus ada penyesuaian, yaitu melalui
sistem takharruj.
Pada
hakikatnya takharuj termasuk kedalam salah satu bentuk penyesuaian dalam
pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah mekanisme pembagian
harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian di antara
seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap bagian yang akan
diterima.
Hal
inilah yang melatar belakangi penulis tertarik untuk membuat makalah dengan
judul Takharruj.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
yang dimaksud dengan takharruj?
2.
Apa saja
bentuk-bentuk dari takharruj?
3.
Bagaimana
cara melakukan takharruj?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui tentang takharruj.
2.
Untuk
mengetahui bentuk-bentuk dari takharruj.
3.
Untuk mengetahui tentang cara melakukan takharruj.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TAKHARRUJ
1.
Definisi Takharruj
Takharuj adalah salah satu permasalahan dalam ilmu
waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan.
Permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad. Hal ini timbul
dan menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum
dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu menjelaskan kedua
hal tersebut melalui ijtihad.[1]
Dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang ada di antara ahli waris yang
kurang berkenan menerima harta yang ada karena kurang sesuai dengan
kebutuhannya, jika hal ini terjadi, maka harus ada penyesuaian, yaitu melalui
sistem takharruj.[2]
Al-takharuj
min al-Tarikah adalah pengunduran diri seorang
ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar’i).
Dalam hal ini, dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang
tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan
yang ada. Hal ini dibolehkan syariat.[3]
Pada
hakikatnya takharuj termasuk kedalam
salah satu bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah mekanisme pembagian
harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian di antara
seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap bagian yang akan
diterima.[4]
Takharuj berasal dari kata (خرج-يخرج-خروجا )
kharaja, yakhruju, khuruujan dengan
makna keluar, dengan timbangan tafa’ul (تفاعل ), yaitu ( تخارج- يتخارج – تخارجا ) takharaja,
yatakharju, takharujan dengan makna saling keluar. Artinya ahli
waris keluar dari kedudukannya sebagai ahli waris.[5]
Takharruj
dapat
didefinisikan sebagai persetujuan seorang ahli waris untuk keluar dari
pembagian harta warisan sehingga ia tidak mengambil sedikitpun dari harta warisan
atau yang lain.[6]
Takharruj
juga dapat
didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk
mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang atau beberapa orang ahli waris dalam
menerima sebagian pusaka dengan cara memberikan suatu prestasi.[7]
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa ada 2
hal mengenai takharuj :
a.
Pengunduran
diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya
secara syar'i. Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang
atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta
peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
b.
Dikeluarkannya
sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian
ia bersedia menggantinya. Menurut syara', hal tersebut boleh dilakukan, jika
seluruh ahli waris ridha.[8]
Menurut
Syara’ pengunduran diri semacam ini diperkenankan. Sebagaimana diperbolehkannya
seorang ahli waris menggugurkan hak warisnya dan memberikan seluruh bagiannya
kepada ahli waris lain, kemudia ia dinyatakan sebagai orang yang menggugurkan
hak warisnya. Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf mempunyai 4 istri.
Tatkala ia wafat, salah seorang istrinya yaitu Thumadhir binti al-Asbagh
bersedia menggugurkan ¼ kewarisannya dari 1/8 harta warisan yang nilainya
sebesar 100.000 dirham.[9]
Takharuj
juga berarti suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk
mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima warisan
dengan memberikan suatu tebusan atau pengganti yang diberikan oleh orang yang
mengundurkan kepada yang diundurkan. Adapun tebusan atau pengganti tersebut
berasal dari orang yang mengundurkan atau dari harta peninggalan yang akan
dibagi-bagikan.[10]
Takharruj
dapat berupa perjanjian antara dua pihak di mana satu pihak menyerahkan sesuatu
sebagai prestasi dan pihak lain menyerahkan sesuatu sebagai tegenprestasi.
Bila prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar, maka takharruj
itu juga dapat diartikan sebagai perjanjian tukar menukar.[11] Prestasi yang diserahkan oleh pihak
pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan tegenprestasi yang diserahkan
oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian
takharruj ini merupakan perjanjian
jual-beli.
Jika
prestasi yang diserahkannya itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi
yang bakal diterimanya, maka takharruj
tersebut merupakan perjanjian tukar-menukar.
Di
samping itu jika prestasinya yang diserahkan kepada pihak yang diundurkan itu
diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri, perjanjian takharruj itu berstatus sebagai perjanjian pembagian (‘aqad qismah)
harta pusaka.[12]
Wahbah
az-Zuhaili mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
اتفاق الورثة باخراج بعضهم من الميراث
ببدل شئ من التركة او غيرها
Artinya
: Kesepakatan ahli waris mengeluarkan sebagian dari mereka dari harta
warisan, dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang
lainnya.
Pengertian
diatas menjelaskan bahwa takharuj itu adalah adanya kesepakatan ahli
waris dalam menyelesaikan pembagian harta warisan, dengan mengeluarkan sebagian
dari mereka yang juga ahli waris, dengan memberikan imbalan yang diambilkan
dari tirkah (harta peninggalan) atau dari sumber lainnya.
Abu
Zahrah mengartikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو ان يتصالح بعض الورثة علي
قدر معلوم في نظير ان يترك حصته فيها, سواء أكان التصالح مع الورثة مجتمعين
أم مع بعضهم
Artinya
: Takharuj adalah perdamaian sebagian ahli waris terhadap sejumlah harta
tertentu, dengan melepaskan bagiannya di dalam harta tersebut, yang dilakukan
oleh keseluruhan ahli waris atau sebagian ahli waris saja.
Pengertian
di atas
menyatakan bahwa takharuj adalah kesepakatan damai oleh seluruh ahli
waris atau sebagian ahli waris saja, dalam pembagian harta warisan, dengan
adanya ahli waris yang keluar dan tidak mengambil bagiannya.[13]
Muhammad
Musthafa Tsalabi juga mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو آن يتصالح الورثة علي
اخراج بعضهم من الميراث في مقابل شئ معلوم من التركة او من غيرها, سواء اكان هذا
التصالح من كل الورثة او من بعضهم
Artinya : Takharuj adalah
bersepakatnya ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari harta warisan
dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya,
baik dilakukan oleh seluruh ahli waris atau sebagian mereka.
Defenisi di atas menjelaskan bahwa takharuj adalah kesepakatan dari
seluruh atau sebagian ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari
pembagian harta warisan, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah
atau dari yang lainnya.
Sedangkan
Amir Syarifuddin mendefenisikan takharuj sebagai sebuah kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian atau seluruh ahli waris untuk mengeluarkan salah
seorang dari mereka sebagai ahli waris, dengan memberikan sejumlah harta yang
diambil dari ahli waris sendiri atau dari harta warisan.[14]
Berikut adalah
definisi Takharruj menurut beberapa ulama:
أن
يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر
كة أ و من غيره .
Perjanjian atau
perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam
(menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan
tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf
Musa, 1959:374).
ان يتصالح الورثة على إخراج بعضهم من
الميراث في مقا بل شيء معلوم من التركة أومن غير ها سوا ء أ كا ن هذا التصا لح من
كل الورثة أو من بعضهم .
Perjanjian atau
perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya
dari pewarisan dengan suatu imbalan tertentu dari harta peninggalan atau dari
yang lainnya, baik perjanjian tersebut dari seluruh ahli waris maupun dari
sebagian mereka (Syalaby, 1978:366).[15]
ان
عبد الرحمان بن عوف طلق ا مرأ ته تما ضر بنت الا صبغ الكلبية فى مر ض مو ته، ثم ما
ت و هى فى ا لعدة فو ر ثها عثما ن ر ضى ا لله عنه مع ثلا ث نسو ة ا خر، فصا لحو ها
عن ر بع ثمنها على ثلا ثة و ثما نين أ لفا، فقيل هى د نا نير، وقيل هى درا هم .
“Abdurrahman
bin ‘Auf, di saat sekaratnya, mentalak isterinya yang bernama Tumadhir binti
al-Ishbagh al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan isterinya sedang dalam
masa iddah, sayyidina ‘Utsman r.a. membagikan pusaka kepadanya beserta tiga
orang isterinya yang lain. Kemudian mereka pada mengadakan perdamaian
dengannya, yakni sepertigapuluh dua-nya, dengan pembayaran delapan puluh tiga
ribu, dikatakan oleh suatu riwayat “dinar” dan dikatakan oleh riwayat yang lain
“dirham”.[16]
Kitab
Undang-Undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj. Dalam pasal
terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang
definisinya, bentuk-bentuknya dan cara-cara membagikan harta warisan kepada
para ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta warisan tersebut terdapat
sebagian ahli waris yang mengadakan perjanjia takharuj. Bunyi
teks selengkapnya adalah sebagai berikut:
الْتخا
ر ج هو ا ن يتصا لح ا لو ر ثة على اخراج بعضهم من الميرا ث على شيء معلوم،فاِ ذا تخا
ر ج ا حد ا لو ر ثه .. مع ا خر منهم ا ستحق نصيبه، و حل محله فى ا ْلتركة، و ا ذ ا
تخا رج ا حد ا ْلورثة مع با قيهم ، فاِ ن كا ن ا ْلمد فو ع له من لتركت قسم نصيبه
بينهم بنسبة انصبا ئهم فيها . و ان كا ن ا ْلمد فو ع من ما ْلهم و ْلم ينص في عقد
ا ْلتخا رج على طريقة قسمة نصيب ا ْلخا ر ج قسم عليهم با اسو ية بينهم .
”Takharuj
ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari
mewarisi dengan sesuatu yang sudah maksum. Apabila salah seorang ahli waris
bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain, maka baginya dihaki dan
tempatnya dalam mewarisi harta peninggalan didudukinya. Dan apabila seorang
ahli waris bertakharuj dengan ahli waris-ahli waris lainnya, jika sesuatu yang
diserahkan itu diambilkan dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar
mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan. Dan jika
sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan di dalam
perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar
maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.”[17]
Takharruj pada prinsipnya
merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan secara damai berdasarkan
musyawarah antara para ahli waris. Takharruj merupakan
perjanjian yang diadakan antara para ahli waris untuk mengundurkan diri atau
membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan
dilakukan dengan ikhlas, sukarela dan tanpa paksaan.
Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli waris atas keluarnya atau mundurnya salah seorang ahli waris atau
sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan
peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah
uang atau barang dari ahli waris lain.[18]
Harta
benda yang seharusnya ia terima dibagikan kepada ahli waris selainnya sesuai
dengan bagiannya masing-masing. Dengan demikian dia tidak mengambil bagian yang
setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan
syara’. Contohnya, seorang ahli waris tidak mengambil bagiannya dan bagian itu
diberikan pada orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa dia menghapus bagian
warisnya sendiri.[19]
Penyesuaian
secara takahrruj adalah sebagai tindakan kebijakan yang hanya digunakan
dalam keadaan tertentu bila kemaslahatan dan keadilan membutuhkannya. Hal ini
dapat ditempuh dengan maksud meniaakan kesempitan dalam bermuamalah yang
ditetapkan Allah. Dengancara ini, kesulitan untuk memecahkan persoalan
pembagian kewarisan dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.[20]
Amir
Syarifuddin berpendapat bahwa penolakan terhadap takharuj pada dasarnya
terletak pada dua hal, yaitu :
a.
Pembagian harta warisan dengan cara takharuj
bertentangan dengan asas ijbari. Hal ini karena ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam faraid bersifat memaksa dan oleh karena itu harus diikuti. Dan
jika tidak dilaksanakan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
b.
Meskipun ada yang menganggap takharuj
sebagai jual beli, tetapi jual beli tersebut belum terpenuhi rukunnya, yaitu
barang yang diperjualbelikan, yang dalam hal ini adalah bagian ahli waris yang
keluar tersebut. Karena harta tersebut belum dibagi, maka bagian ahli waris
tersebut belum jelas dan belum dianggap ada, sehingga dianggap belum memenuhi
rukun jual beli.[21]
2. Dasar Hukum
Kebolehan Takharruj
Pembagian harta warisan dalam
bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar
hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Dasar hukumnya merupakan hasil ijtihad (atsar
sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan. Atsar tersebut berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi sebagai
berikut:
ﻋﻦ
ﺍﺒﻰ ﻴﻮﺴﻒ
ﻋﻤﻦ ﺤﺪﺜﻪ ﻋﻤﺮﻮﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮ ﻋﻦ ﺍﺒﻦﻋﺒﺎﺲ : ﺃﻦﺍﺤﺪﻲ ﻨﺴﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻋﻮﻒ ﺼﻠﺤﻮﻫﺎﻋﻠﻰ ﺜﻼﺜﺔ ﻮﺜﻤﺎﻨﻴﻦ ﺃﻠﻔﺎ
ﻋﻠﻰﺃﺨﺮﺠﻮﻫﺎ
ﻤﻦ ﻤﻴﺮﺍﺚ.
Artinya:
Dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan kepadanya,
dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas: Salah seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk berdamai oleh para ahli waris
terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari
pembagian harta warisan.[22]
Dari atsar sahabat tersebut,
dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip musyawarah dan
damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah
seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima harta warisan
suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan puluh tiga ribu
dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham.
Istri (janda) almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4
orang, dan salah seorang di antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag
menyatakan mengundurkan diri dari bagian yang seharusnyaa diterima dengan
imbalan pembayaran sejumlah uang. Bagian
Thumadhir adalah ¼ dari 1/8 atau 1/32
dari keseluruhan harta warisan pewaris.
Baagian tersebut dinilai dengan uang sejumlah 83 dirham atau ada yang
menyatakan 83 dinar.
Selain atsar sabahat, dasar hukum al-takharruj
adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar
atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan
kesepakatan, perjanjian pembagian harta
warisan dengan metode takharruj
hukumnya boleh.
Jadi, takharuj adalah pembagian harta warisan secara damai dengan
perinsip musyawarah. Pembagian harta
warisan dengan metode tersebut, para
ahli warislah yang berperan dan berpengarauh dalam menentukan, baik cara
pembagiannya maaupun besar bagian para ahli waris. Pembagian harta warisan dalam bentuk ini
dapat saja keluar dari ketentuan pembagian harta warisan yang telah ditetapkan
berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw., namun atas dasar kesepakatan
dan kerelaan antara para ahli waris untuk kemaslahatan para ahli waris.
Penyelesaian secara takharuj adalah bentuk tindakan kebijaksanaan yang
hanya digunakan dalam keadaan tertentu, bila kemaslahatan dan keadilan
menghendakinya. Hal ini dilakukan tanpa
sama sekali menghindarkan diri dari ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
dengan cara ini suatu kesulitan dalam pemecahan persoalan pembagian warisan
dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.[23]
Hukum waris Islam tidak mengenal penolakan waris sebagaimana dikenal
dalam hukum waris BW. Dalam hukum waris Islam mengenal asas Ijbari yang berarti
peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak
pewaris atau ahli waris, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lainuntuk menjadi ahli waris atau
mengeluarkan orang yang berhak menjadi ahli waris.
Hal ini dapat dilihat pula dengan telah ditentukannya kelompok ahli
waris oleh Allah SWT sebagaimana diatur dalam Surat An-Nisa Ayat 11, 12, dan
176. Jika ahli waris yang ingin melepas haknya menerima waris dan ingin
memberikannya pada ahli waris lain, hukum Islam mengatur tentang melakukan
kerukunan dalam pembagian harta waris yang disebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj.[24]
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pada pasal 183 menyebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah amsing-masing menyadari bagiannya.[25]
Pasal tersebut menjadi acuan dalam pembagian warisan secara damai dengan
mengedepankan kerelaan bersama, walaupun pasal ini mengakibatkan pembagian
warisan yang berbeda dari petunjuk pembagian warisan yang telah ditentukan
dalam Bab III Kompilasi Hukum Islam namun hal ini tetap dibenarkan demi
tercapainya kemaslahatan diantara para ahli waris.
Dalam pelaksanaan penyelesaian secara takharuj dapat berlaku dalam tiga
bentuk. Pertama, kesepakatan dua
orang diantara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari pembagian warisan
dengan imbalan tertentu yag diberikan oleh pihak lain dari hartanya sendiri.
Kedua, kesepakatan seluruh ahli waris atas keluarnya salah seorang di antara
mereka dari kelompok penerima warisan, dengan imbalan yang dipikul bersama dari
harta mereka di luar hak yang mereka terima dari harta warisan.
Ketiga, kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang di antaranya
dari kelompok penerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta peninggalan
itu sendiri.[26]
Bila diperhatikan, bentuk ketiga ini terlihat bahwa masalahnya berbeda
dengan dua bentuk sebelumnya karena ahli waris menempuh cara pembagian yang
menyimpang dari yang ditentukan dalam hukum kewarisan dan ada kemungkinan lebih
atau kurang dari hak yang semestinya diterima. Walaupun pembagian warisan dalam
bentuk tahkaruj dibenarkan dalam Islam namun praktik pembagiannya harus tetap
memenui syarat-syarat. Di antara syarat-syarat pentingnya adalah harus ada kecakapan
hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam
warisan.
Hal ini menjadi keharusan karena dalam pembagian warisan dalam bentuk
takharuj ada pihak-pihak yang akan menggugurkan atau mengorbankan haknya baik
keseluruhan maupun sebagian. Dalam menggugurkan hak milik diperlukan kecakapan
untuk bertindak secara hukum.[27]
Pembagian harta warisan dengan cara
perjanjian takharuj telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum warisan Mesir pada pasal 48, yang menjelaskan
tentang definsisnya, bentuknya dan cara pembagian harta warisan kepada ahli
waris apabila terdapat ahli waris yang mengadakan perjanjian takharuj.[28]
Dasar
yang dipakai oleh ulama yang membenarkan lembaga takharruj ini adalah kerelaan dan kesepakatan pihak yang berhak
menerimanya. Di samping itu, ulama juga mendasarkan kepada atsar sahabi meskipun termasuk tidak cukup kuat untuk dijadikan
dalil.[29]
B. BENTUK-BENTUK TAKHARRUJ
Takharuj merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang menyatakan diri keluar,
mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris lain.
Bentuknya
adalah:
a. Perjanjian dua pihak.
Pembagian harta
warisan dalam bentuk ini adalah terdapat dua pihak, pihak pertama adalah ahli
waris yang menyatakan diri keluar dari hak untuk menerima warisan dan
menyerahkan bagian warisannya kepada pihak kedua atau ahli waris lain.
Selanjutnya pihak kedua (ahli waris lain) menyerahkan sesuatu sebagai tebusan
atas harta warisan yang telah diserahkan kepada ahli waris pihak pertama.
b. Perjanjian jual beli.
Takharuj dalam bentuk
ini adalah seakan-akan terjadi trasanki jual beli. Pihak ahli waris pertama yang telah
menyerahkan bagian harta warisannya kepada pihak ahli waris kedua menerima
pembelian atau harta yang diberikan oleh
pihak ahli waris yang kedua.
c. Perjanjian tukar menukar.
Al-takharuj juga dapat berbentuk tukar menukar
barang harta warisan atau barter. Dalam
bentuk ini, pihak yang telah menyatakan
keluar atau mundur dari menerima harta warisan pewaris menerima tebusan atau barter sebagai alat penukar dari harta
warisan yang seharusnya menjadi bagiannya. Tebusan atau barter itu diberikan oleh ahli waris lain
yang tidak mengundurkan diri.[30]
Dalam prakteknya, penyesuaian secara
takharruj dapat dikategorikan kepada tiga bentuk berdasarkan
kesepakatan ahli waris yaitu:
a. Kesepakatan
dua orang di anatara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari menerima
harta dengan imbalan tertentu yang diberikan oleh ahli waris lain dari hartanya
sendiri.
b. Kesepakatan
ahli waris atas keluarnya salah seorang dari menerima harta warisan dengan
imbalan yang dipikul bersama dari harta mereka di luar hak yang akan mereka
terima dari harta warisan.
c. Kesepakatan
semua ahli waris atas keluarnya salah seorang menerima warisan dengan imbalan
tertentu dari harta itu sendiri.[31]
Dari segi waktu pelaksanaannya, Takharruj dapat dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu:
a. Sebelum
harta warisan dibagi
Artinya kesepakatan yang dilakukan oleh ahli waris dilakukan
sebelum dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut ketentuan faraid secara
formal. Ini berarti ahli waris berkeinginan untuk menyelesaikan pembagian harta
warisan di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
b. Sesudah
harta warisan dibagi
Artinya
takharuj dilakukan setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut
ketentuan syara’ secara formal dan masing-masing ahli waris telah
mengetahui bagiannya masing-masing.[32]
Jika dilihat
dari segi
imbalan yang diberikan, maka Takharruj
dibagi menjadi tiga bentuk, yakni:
a. Imbalan
diberikan dari harta salah seorang ahli waris yang melakukan kesepakatan.
b. Imbalan
diberikan dari harta seluruh ahli waris yang melakukan kesepakatan.
c. Imbalan
diberikan dengan mengambil bagian tertentu dari harta warisan
Artinya
para ahli waris disini dapat melakukan kesepakatan dari mana imbalan akan
diambil. Hal itu bisa dilihat dari siapa yang melakukan kesepakatan. Bisa saja
imbalan diambil dari harta salah seorang ahli waris dan bisa juga dari harta keseluruhan
ahli waris. Atau jika disepakati imbalan bahkan bisa diambil dari harta
warisan.[33]
C. CARA
MELAKUKAN TAKHARRUJ
1.
Tata Cara Pelaksanaannya
Takharruj
Takharruj dapat dilakukan jika seorang ahli
waris bersedia menggugurkan sebagian hak warisnya dan memberikannya kepada
seluruh ahli waris secara merata atau salah seorang seorang saja di antara
mereka yang berhak menerima warisan.[34]
Dalam prakteknya, takharruj
dapat dilakukan setelah pembagian harta warisan. Artinya, setelah masing-masing
ahli waris menerima hak maka keseluruhan harta dapat dilebur kembali,
selanjutnya diadakan pembagian menurut kesepakatan bersama atau kesepakatan
beberapa orang terhadap harta mereka.
Hal ini secara praktis harta warisan
sudah dilaksanakan pembagiannya sesuai menurut tuntunan Hukum Islam. Oleh
karena itu, cara ini dapat diterima karena bersifat dinamis dan dapat
memberikan tempat kepada tuntutan amsing-masing ahli waris yang bersepakat.
Takharruj juga diberlakukan sebelum harta
warisan dibagi. Cara ini berarti bahwa kesepakatan semua ahli waris adalah di
luar cara yang ditentukan oleh syara’. Dalam pengertian khususnya yaitu
kesepakatan seluruh ahli waris utnuk keluarnya seseorang atau beberapa orang
dari pembagian warisan dengan imbalan tertentu dan diambilkan dari kelompok
harta warisan itu sendiri atau di luar harta warisan.[35]
Takharruj juag dapat diselesaikan dalam dua
kondisi:
Pertama, hak ahli waris harus dibagikan
terlebih dahulu baru kemudian dilebur kembali sisanya yang tidak ingin diambil
haknya oleh ahli waris.
Sebagai contoh, jika seorang
laki-laki wafat dan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ayah, anak
perempuan dan seorang istri dengan harta peninggalan berupa sebuah rumah dan
uang 4.200 dinar. Sang istri setuju mengambil rumah tanpa mengambil bagian uangnya,
maka harta warisan berupa uang 4.200 dinar hanya dibagikan kepada anak
perempuan dan ayahnya.
Kedua, jika persetujuan terjadi hanya
dengan salah seorang ahli waris, maka bagian yang disetujui itu menjadi milik
ahli waris yang menerima limpahan ini sehingga ia mendapat dua bagian, yaitu
bagian yang dilimpahkan kepadanya dan bagian waris aslinya
Contohnya, jika ahli warisnya
terdiri dari dua orang anak laki-laki, anak perempuan dan seorang istri.
Kemudian salah seorang anak laki-laki melakukan persetujuan dengan anak
perempuan agar anak perempuan tersebut melimpahkan bagian warisannya kepada
anak laki-laki tersebut dengan imbalan uang tertentu. Jika disetujui, maka
harta hanya dibagikan kepada istri dan dua orang anak laki-laki dengan catatan
bagian anak perempuan menjadi milik anak laki-laki yang melakukan persetujuan
dengannya.[36]
Adapun untuk tata cara pembagiannya
dapat dilakukan dengan beberapa tahap berikut :
a. Para ahli waris yang berhak menerima harta warisan
pewaris terlebih dahulu ditentukan besar bagian masing-masing termasuk ahli
waris yang keluar atau mengundurkan diri.
b. Pihak ahli waris yang mundur/keluar ditetapkan besar
bagiannya dari harta warisan pewaris.
c. Bagian ahli waris yang keluar atau mundur dibayar atau
ditebus atau dibarter oleh ahli waris yang tidak mengundurkan diri.
d. Sisa yang dijadikan barter atau tebusan, dibagi oleh ahli
waris yang tidak keluar menurut besar bagian masing-masing.[37]
Selain
itu, dalam persoalan
penyelesaiannya at-Takharuj mempunyai
tiga bentuk, yakni sebagai berikut.
Pertama,
at-takharuj terjadi dengan salah satu ahli waris. Maksudnya, al-kharij
sepakat dengan salah satu ahli waris yang bersedia melepaskan haknya atas harta
waris. Ahli waris itu pun bersedia diberikan sejumlah harta yang menjadi
pengganti haknya atas harta waris. Harta
pengganti yang diberikan kepadanya tidak berasal dari harta waris. Proses takharuj
dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual-beli. Dengan demikian, ahli
waris yang memberikan pengganti itu menempati posisi al-kharij (orang
yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian warisan al-kharij
ditambah bagian aslinya.
Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris:
ibu, saudara perempuan seibu, dan 2 saudara kandung. Si mayit meninggalkan
harta waris berupa tanah seluas 30 hektare. Saudara perempuan seibu mengajukan
permintaan kepada salah satu saudara kandung, agar ia melepaskan hak warisnya
atas tanah. Sebagai penggantinya, saudara perempuan seibu memberikan uang
10.000 pound (Rp 142.200.000,00).
Dalam persoalan ini, pembagian harta waris dilakukan
seakan-akan tidak ada al-kharij, sehingga ibu mendapatkan bagian tetap (fardh)-nya
yang seperenam (1/6), yaitu 5 hektare, saudara perempuan
juga mendapatkan bagiannya yang 5 hektare, dan sisanya dibagi dua untuk 2 orang
saudara kandung.berdasarkan pembagian itu, satu orang saudara kandung
mendapatkan 10 hektare tanah. Saudara kandung yang tidak terikat perjanjian
dengan saudara seibu dapat mengambil bagiannya yang 10 hektare, dan saudara
kandung yang lain, yang berjanji akan melepaskan hak warisnya atas tanah seluas
10 hektare, mendapatkan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00) dari saudara
perempuan seibu. Dengan demikian, tanah milik saudara perempuan seibu menjadi
15 hektare.
Kedua, at-takharuj terjadi
dengan semua ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij bersedia “keluar” atau
melepaskan hakmya atas harta waris jika diganti dengan sejumlah uang, yang
bukan harta waris. Uang pengganti itu diserahkan ahli
waris-ahli waris yang lain kepadanya. Proses takharuj dalam bentuk ini
ditetapkan berdasarkan akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya
kepada ahli waris-ahli waris yang lain. Dengan demikian ahli waris-ahli waris
itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai dengan perjanjian tersebut
dalam akad takharuj.
Jika
ahli waris-ahli waris itu telah memberikan uang kepada al-kharij senilai
dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris, mereka pun mendapatkan
bagian dari harta al-kharij sesuai dengan bagian mereka masing-masing
atas harta waris. Namun, jika setiap ahli waris memberikan uang dalam jumlah
yang sama untuk al-kharij, harta al-kharij pun dibagi rata untuk
mereka.
Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris:
istri, ibu, dan saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah
seluas 36 hektare. Istri si mayit bersedia keluar atau tidak mengambil
bagiannya, jika mendapatkan ganti senilai 2.700 pound (Rp 38.394.000) yang
diserahkan oleh ibu dan saudara kandung si mayit, senilai dengan bagian mereka
berdua dalam mewarisi.
Untuk mengetahui jumlah warisan yang didapat setiap
ahli waris, kita harus mengetahui bagian setiap ahli waris terlebih dahulu. Berikut
cara menghitungnya:
Ahli Waris
|
Istri
|
Ibu
|
Saudara
Kandung
|
Dasar
Pembagian
|
¼
|
1/3
|
Sisa/’ashabah
|
Asal
masalah : 12
|
|||
Bagian
Ahli Waris
|
3
|
4
|
5
|
Kadar satu bagian: 36 : 12 = 3 hektare.
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah
sebagai berikut.
·
Istri
:
3 x 3 = 9 hektare
·
Ibu : 4 x
3 = 12 hektare
·
Saudara
kandung : 5 x 3 =15
hektare
Harta waris yang menjadi hak si istri (9 hektare), yang
tidak diambil karena sudah dibeli, dibagi untuk ibu dan saudara si mayit. Dengan demikian, jumlah harta waris yang diperoleh ibu
dan saudara kandung si mayit, sebagai berikut.
·
Ibu
: [ 12 + (4/9
x 9)] =16 hektare.
·
Saudara
kandung : [ 15 + (5/9
x 9)] = 20 hektare.
Cara menghitung jumlah harta waris yang diperoleh ibu
dan saudara kandung di atas, dilakukan sesuai dengan pengganti yang diberikan
oleh mereka untuk istri si mayit. Pengganti
itu senilai dengan bagian ibu dan saudara kandung dalam mewarisi harta si
mayit. Namun, jika ibu dan saudara kandung memberikan pengganti dalam jumlah
yang sama untuk istri si mayit, harta istri si mayit pun dibagi rata untuk
mereka.
Ketiga,
at-takharuj dengan para ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij
mengajukan usul supaya dia “dikeluarkan” atau tidak diberikan harta waris yang
menjadi bagiannya dengan imbalan tertentu, baik berupa uang atau benda yang
diambil dari warisan. Proses takharuj ini sebenarnya adalah pembagian
yang tidak sempurna antara al-kharij, yang melepas bagiannya, dengan
ahli waris-ahli waris lain, yang memiliki sisa warisan. Bentuk ini pada
hakikatnya sama dengan qismah (hukum pembagian), bukan jual-beli. Bentuk
ini merupakan bentuk yang sering terjadi di masyarakat.
Dalam keadaan ini, kita membagikan harta waris kepada
seluruh ahli waris –termasuk al-kharij- seakan-akan tidak ada yang
keluar. Setelah itu, kita gugurkan bagian al-kharij dari asal masalah, ‘aul,
atau tash-hih-nya, sebagaimana kita menggugurkannya dari warisan, lalu
kita jadikan bagian sisa sebagai asal masalah. Setelah itu, harta waris dibagi
berdasarkan asal masalah ini. Perhatikan beberapa kasus atau contoh berikut
ini:
Contoh pertama, seseorang wafat, meninggalkan ahli
waris : suami, anak laki-laki, dan anak perempuan serta harta waris yang
terdiri dari satu rumah dan 30 hektare tanah. Dalam kasus ini, suami “keluar”
atau meninggalkan bagiannya dengan imbalan rumah. Dengan demikian, cara
pembagian harta waris dapat dilakukan sebagai berikut.
Ahli
Waris
|
Suami
|
Anak
Lelaki dan Anak
Perempuan
|
Dasar
Pembagian
|
¼
|
Sisa/’ashabah
|
Asal
Masalah : 4
|
||
Bagian
Ahli Waris
|
1
|
3,
2
untuk anak lelaki, 1
Untuk
anak perempuan
|
Kemudian
kita “keluarkan” bagian suami, sehingga tersisa 3 bagian. Kita bagi tanah yang
30 hektare itu menjadi 3 bagian. Kadar satu bagian: 30 : 3 = 10.
Harta
waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
·
Anak laki-laki = 2 x 10 = 20 hektare.
·
Anak
perempuan = 1 x 10 = 10 hektare.
·
Suami
mendapatkan rumah.
Contoh kedua. Seseorang
wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan paman kandung dari pihak bapak.
Si mayit meninggalkan harta waris senilai 3.000 pound (Rp 42.660.000,00) dan
sebuah rumah yang diminta oleh suami sebagai imbalan pengunduran dirinya
sebagai ahli waris.
Penyelesaian
Ahli Waris
|
Suami
|
Ibu
|
Paman kandung
|
Dasar Pembagian
|
½
|
1/3
|
Sisa/’ashabah
|
Asal masalah : 6
|
|||
Bagian ahli waris
|
3
|
2
|
1
|
Kemudian, kita gugurkan bagian suami dengan imbalan rumah
tadi. Dengan demikian, jumlah harta waris yang tersisa adalah 3 (2 bagian untuk
ibu dan 1 bagian untuk paman).
Kadar satu bagian :
3.000 : 3 = 1.000 pound.
Harta waris yang diperoleh ibu dan
paman adalah sebagai berikut:
· Ibu
: 2 x 1.000 = 2.000 pound (Rp 28.440.000,00)
· Paman : 1 x 1.000 = 1.000 pound (Rp
14.220.000,00)
Dalam kasus ini, tidak
boleh dikatakan bahwa ketika suami sudah keluar dari kelompok ahli waris,
proses pembagian harta waris dilakukan sebagaimana suami tidak ada atau sudah
meninggal, sehingga harta waris dibagikan hanya untuk ibu dan paman. Sebab,
jika kita melakukan itu, pasti akan membawa perubahan pada bagian ibu yaitu
dari sepertiga (1/3) bagian tetap menjadi (1/3)
bagian sisa yaitu 1.000 pound, setelah diambil oleh suami. Kalau hal ini
dilakukan, berarti kita menyalahi ijma’ yang menyebutkan bahwa ibu mendapatkan
(1/3) dari harta waris dalam masalah ini. Hal tersebut
tidak sesuai dengan akad takharuj, di mana mereka berdua rela
meninggalkan bagiannya, ditukar dengan uang atau barang yang lain.[38]
Berikut
adalah tata cara pelaksanaan Takharruj :
a. Kenali pokok masalahnya, kemudian
keluarkan ahli waris yang mengundurkan diri, sisanya bagikan pada ahli waris
yang berhak.
Contoh:
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan,
dan istri. Misalnya, pewaris meninggalkan sebuah rumah dan uang sebanyak 42
juta rupiah. Kemudian, istri menyatakan dirinya hanya akan mengambil rumah, dan
menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah 42 juta
itu. Dalam keadaan demikian, harta warisan tersebut hanya dibagikan kepada anak
perempuan dan ayah. Kemudian jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi
pokok masalahnya.
Pokok masalahnya 24, kemudian hilangkan hak istri, yakni
seperdelapan dari 24, berarti tiga. Lalu sisanya (24-3= 21) menjadi pokok
masalah bagi ayak dan anak perempuan.
Pembagiannya:
42.000.000
: 21 = 2.000.000
Anak
perempuan 12 x 2.000.000 =
24.000.000
Ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Totalnya
24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000
b. Apabila salah seorang ahli waris
menyerahkan haknya lalu membeikannya kepada salah satu ahli waris lainnya,
pembagiannya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan
diri kepada orang yang ditunjuknya.[39]
2. Contoh Kasus dan Analisa Takharruj
Deskripsi: Seorang meninggal dunia
dengan meninggalkan ahli waris suami, anak perempuan, ibu, dan seorang saudara
laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar Rp
48.000.000,00. Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian
anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
Analisa kasus:
Pembagian sebelum takharuj:
1. anak
perempuan : ½ : 6 (diberikan sebuah rumah)
2. suami
: ¼ x12 : 3
3. ibu
: 1/6 : 2 Rp 48.000.000,00
4. sdr.
Laki sebapak : ashabah : 1
Pembagian sesudah takharruj:
Perjanjian takharuj di atas termasuk
dalam bentuk takharuj di mana adanya kesepakatan semua ahli waris atas
keluarnya salah seorang menerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta itu
sendiri. Maka penyelesaiannya sebagai berikut:
1. Anak
perempuan mendapatkan harta peninggalan sebuah rumah sesuai dengan perjanjian.
2. Suami 3/6 X Rp 48.000.000,00à:3 = Rp 24.000.000,00
3. Ibu 2/6 X Rp 48.000.000,00à:2 = Rp 16.000.000,00
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Takharuj merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang
menyatakan diri keluar, mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris
lain.
2.
Beberapa bentuk dari takharruj
ialah perjanjian dua pihak, perjanjian jual beli dan perjanjian tukar menukar.
Jika dilihat dari segi waktu pembagiannya, maka bentuk takharruj ada dua
yakni sebelum pembagian warisan dan sesudah pembagian warisan.
3.
Dalam prakteknya, takharruj
dapat dilakukan setelah pembagian harta warisan. Takharruj juga
diberlakukan sebelum harta warisan dibagi. Cara ini berarti bahwa kesepakatan
semua ahli waris adalah di luar cara yang ditentukan oleh syara’.
DAFTAR PUSTAKA
M., Hajar. 2014. Polemik Hukum Waris.
Pekanbaru:Suska Press.
Al-Sabouni, Muhammad Ali. 2015. Hukum
Kewarisan ; Menurut Al-qur’an dan _____Sunnah.
Jakarta:
Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh
Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
[1] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/05/takharuj-dan-akdariyah.html diakses pada tanggal 9 Oktober
2017 pukul 22.12.
[2] Hajar M., Polemik
Hukum Waris, (Pekanbaru:Suska Press, 2014), h., 86.
[4] http://zilfaroni-putratanjung.blogspot.co.id/2012/05/hukum-kewarisan-islam.html diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 21.51.
[5] Hajar
M., Op. Cit. Lihat juga : Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,296.
[6] Muhammad Ali Al-Sabouni,
Hukum Kewarisan ; Menurut Al-qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2015), h., 200.
[7] Hajar M, Op. Cit.
[8] http://yugoshare.blogspot.co.id/2013/03/munasakhat-dan-at-takharuj-min-at.html diakses
pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 10.44.
[9] Muhammad Ali Al-Sabouni,
Op. Cit. Lihat juga : Amir
Syarifuddin, Op. Cit. Lihat juga : Beni Ahmad Saebani, Op. Cit. Lihat juga : Hajar M., Op. Cit,
h., 86-87.
[10] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/05/takharuj-dan-akdariyah.html diakses
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 22.12.
[11] Hajar M, Op. Cit.
[13] http://zilfaroni-putratanjung.blogspot.co.id/2012/05/hukum-kewarisan-islam.htmldiakses pada tanggal 9 Oktober
2017 pukul 22.11.
[18]http://harijahdamis.blogspot.co.id/2012/07/al-takharruj-dan-praktik-pembagian.htmlpada
tanggal 9 Oktober 2017 pukul 22.13.
[19] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/05/takharuj-dan-akdariyah.html diakses
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 22.12.
[20] Hajar M, Op. Cit, h., 89.
[21] http://zilfaroni-putratanjung.blogspot.co.id/2012/05/hukum-kewarisan-islam.html pada tanggal 9 Oktober
2017 pukul 22.11.
[22] Hajar M, Op. Cit, h., 87.
[23]http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9711/SKRIPSI%20TRIYA%20WULANDARI.pdf;sequence=1 diakses
pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 10.55.
[25] Hajar M, Op. Cit, h., 89.
[26]http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9711/SKRIPSI%20TRIYA%20WULANDARI.pdf;sequence=1 diakses
pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 11.10
[27]Ibid.
[28]http://harijahdamis.blogspot.co.id/2012/07/al-takharruj-dan-praktik-pembagian.htmlpada tanggal 9 Juni 2017
pukul 22.13.
[30] Ibid.
[33]http://zilfaroni-putratanjung.blogspot.co.id/2012/05/hukum-kewarisan-islam.html pada tanggal 9 Oktober
2017 pukul 22.11.
[34] Muhammad Ali Al-Sabouni,
Op. Cit.
[35] Hajar M, Op. Cit, h., 87.
[36] Muhammad Ali Al-Sabouni,
Op. Cit, h., 200-202.
[37]http://harijahdamis.blogspot.co.id/2012/07/al-takharruj-dan-praktik-pembagian.html diakses pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 22.13.
[40] http://rangerwhite09-artikel.blogspot.co.id/2010/05/takharuj-dan-akdariyah.html diakses
pada tanggal 9 Juni 2017 pukul 22.12.
Komentar
Posting Komentar