FIQH MAWARIS; TAKHARRUJ

Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Takharuj adalah salah satu permasalahan dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan. Kedua permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad. Hal ini timbul menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad.
Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang ada di antara ahli waris yang kurang berkenan menerima harta yang ada karena kurang sesuai dengan kebutuhannya, jika hal ini terjadi, maka harus ada penyesuaian, yaitu melalui sistem takharruj.
Pada hakikatnya takharuj termasuk kedalam salah satu bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah mekanisme pembagian harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian di antara seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap bagian yang akan diterima.
Hal inilah yang melatar belakangi penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul Takharruj.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan takharruj?
2.      Apa saja bentuk-bentuk dari takharruj?
3.      Bagaimana cara melakukan takharruj?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui tentang takharruj.
2.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari takharruj.
3.      Untuk mengetahui tentang cara melakukan takharruj.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    TAKHARRUJ
1.      Definisi Takharruj

Takharuj adalah salah satu permasalahan dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan. Permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad. Hal ini timbul dan menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad.[1]
Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang ada di antara ahli waris yang kurang berkenan menerima harta yang ada karena kurang sesuai dengan kebutuhannya, jika hal ini terjadi, maka harus ada penyesuaian, yaitu melalui sistem takharruj.[2]
Al-takharuj min al-Tarikah adalah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar’i). Dalam hal ini, dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dibolehkan syariat.[3]
Pada hakikatnya takharuj termasuk kedalam salah satu bentuk penyesuaian dalam pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam. Takharuj adalah mekanisme pembagian harta warisan dengan menempuh jalan perdamaian, yaitu perdamaian di antara seluruh ahli waris dengan mengadakan kesepakatan terhadap bagian yang akan diterima.[4]
Takharuj berasal dari kata (خرج-يخرج-خروجا )  kharaja, yakhruju, khuruujan dengan makna keluar, dengan timbangan tafa’ul (تفاعل ), yaitu ( تخارج- يتخارج – تخارجا ) takharaja, yatakharju, takharujan dengan makna saling keluar. Artinya ahli waris keluar dari kedudukannya sebagai ahli waris.[5]
Takharruj dapat didefinisikan sebagai persetujuan seorang ahli waris untuk keluar dari pembagian harta warisan sehingga ia tidak mengambil sedikitpun dari harta warisan atau yang lain.[6]
Takharruj juga dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang atau beberapa orang ahli waris dalam menerima sebagian pusaka dengan cara memberikan suatu prestasi.[7]
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa ada 2 hal mengenai takharuj :
a.       Pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya secara syar'i. Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
b.      Dikeluarkannya sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian ia bersedia menggantinya. Menurut syara', hal tersebut boleh dilakukan, jika seluruh ahli waris ridha.[8]
Menurut Syara’ pengunduran diri semacam ini diperkenankan. Sebagaimana diperbolehkannya seorang ahli waris menggugurkan hak warisnya dan memberikan seluruh bagiannya kepada ahli waris lain, kemudia ia dinyatakan sebagai orang yang menggugurkan hak warisnya. Telah diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf mempunyai 4 istri. Tatkala ia wafat, salah seorang istrinya yaitu Thumadhir binti al-Asbagh bersedia menggugurkan ¼ kewarisannya dari 1/8 harta warisan yang nilainya sebesar 100.000 dirham.[9]
Takharuj juga berarti suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima warisan dengan memberikan suatu tebusan atau pengganti yang diberikan oleh orang yang mengundurkan kepada yang diundurkan. Adapun tebusan atau pengganti tersebut berasal dari orang yang mengundurkan atau dari harta peninggalan yang akan dibagi-bagikan.[10]
Takharruj dapat berupa perjanjian antara dua pihak di mana satu pihak menyerahkan sesuatu sebagai prestasi dan pihak lain menyerahkan sesuatu sebagai tegenprestasi. Bila prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar, maka takharruj itu juga dapat diartikan sebagai perjanjian tukar menukar.[11]             Prestasi yang diserahkan oleh pihak pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian takharruj ini merupakan perjanjian jual-beli.
Jika prestasi yang diserahkannya itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi yang bakal diterimanya, maka takharruj tersebut merupakan perjanjian tukar-menukar.
Di samping itu jika prestasinya yang diserahkan kepada pihak yang diundurkan itu diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri, perjanjian takharruj itu berstatus sebagai perjanjian pembagian (‘aqad qismah) harta pusaka.[12]
Wahbah az-Zuhaili mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
اتفاق الورثة باخراج بعضهم من الميراث ببدل شئ من التركة او غيرها
Artinya : Kesepakatan ahli waris mengeluarkan sebagian dari mereka dari harta warisan, dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya.
Pengertian diatas menjelaskan bahwa takharuj itu adalah adanya kesepakatan ahli waris dalam menyelesaikan pembagian harta warisan, dengan mengeluarkan sebagian dari mereka yang juga ahli waris, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah (harta peninggalan) atau dari sumber lainnya.
Abu Zahrah mengartikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو ان يتصالح بعض الورثة علي قدر معلوم في نظير ان يترك حصته فيها, سواء أكان التصالح مع الورثة  مجتمعين أم مع بعضهم
Artinya : Takharuj adalah perdamaian sebagian ahli waris terhadap sejumlah harta tertentu, dengan melepaskan bagiannya di dalam harta tersebut, yang dilakukan oleh keseluruhan ahli waris atau sebagian ahli waris saja.
Pengertian di atas menyatakan bahwa takharuj adalah kesepakatan damai oleh seluruh ahli waris atau sebagian ahli waris saja, dalam pembagian harta warisan, dengan adanya ahli waris yang keluar dan tidak mengambil bagiannya.[13]
Muhammad Musthafa Tsalabi juga mendefenisikan takharuj sebagai berikut :
التخارج هو آن يتصالح الورثة علي اخراج بعضهم من الميراث في مقابل شئ معلوم من التركة او من غيرها, سواء اكان هذا التصالح من كل الورثة او من بعضهم
Artinya : Takharuj adalah bersepakatnya ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari harta warisan dalam bentuk pertukaran sesuatu yang diambil dari tirkah atau yang lainnya, baik dilakukan oleh seluruh ahli waris atau sebagian mereka.
            Defenisi di atas menjelaskan bahwa takharuj adalah kesepakatan dari seluruh atau sebagian ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari pembagian harta warisan, dengan memberikan imbalan yang diambilkan dari tirkah atau dari yang lainnya.
Sedangkan Amir Syarifuddin mendefenisikan takharuj sebagai sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian atau seluruh ahli waris untuk mengeluarkan salah seorang dari mereka sebagai ahli waris, dengan memberikan sejumlah harta yang diambil dari ahli waris sendiri atau dari harta warisan.[14]
Berikut adalah definisi Takharruj menurut beberapa ulama:
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء معين من التر كة أ و من غيره .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya sebagian mereka dalam (menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan suatu prestasi/imbalan tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang lainnya (Yusuf Musa, 1959:374).
ان يتصالح الورثة على إخراج بعضهم من الميراث في مقا بل شيء معلوم من التركة أومن غير ها سوا ء أ كا ن هذا التصا لح من كل الورثة أو من بعضهم .
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan dengan suatu imbalan tertentu dari harta peninggalan atau dari yang lainnya, baik perjanjian tersebut dari seluruh ahli waris maupun dari sebagian mereka (Syalaby, 1978:366).[15]
ان عبد الرحمان بن عوف طلق ا مرأ ته تما ضر بنت الا صبغ الكلبية فى مر ض مو ته، ثم ما ت و هى فى ا لعدة فو ر ثها عثما ن ر ضى ا لله عنه مع ثلا ث نسو ة ا خر، فصا لحو ها عن ر بع ثمنها على ثلا ثة و ثما نين أ لفا، فقيل هى د نا نير، وقيل هى درا هم .
Abdurrahman bin ‘Auf, di saat sekaratnya, mentalak isterinya yang bernama Tumadhir binti al-Ishbagh al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan isterinya sedang dalam masa iddah, sayyidina ‘Utsman r.a. membagikan pusaka kepadanya beserta tiga orang isterinya yang lain. Kemudian mereka pada mengadakan perdamaian dengannya, yakni sepertigapuluh dua-nya, dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu, dikatakan oleh suatu riwayat “dinar” dan dikatakan oleh riwayat yang lain “dirham”.[16]
Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir membenarkan takharuj. Dalam pasal terakhir, pasal 48, dari Kitab Undang-Undang tersebut dijelaskan tentang definisinya, bentuk-bentuknya dan cara-cara membagikan harta warisan kepada para ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta warisan tersebut terdapat sebagian ahli waris yang mengadakan perjanjia takharuj. Bunyi teks selengkapnya adalah sebagai berikut:
الْتخا ر ج هو ا ن يتصا لح ا لو ر ثة على اخراج بعضهم من الميرا ث على شيء معلوم،فاِ ذا تخا ر ج ا حد ا لو ر ثه .. مع ا خر منهم ا ستحق نصيبه، و حل محله فى ا ْلتركة، و ا ذ ا تخا رج ا حد ا ْلورثة مع با قيهم ، فاِ ن كا ن ا ْلمد فو ع له من لتركت قسم نصيبه بينهم بنسبة انصبا ئهم فيها . و ان كا ن ا ْلمد فو ع من ما ْلهم و ْلم ينص في عقد ا ْلتخا رج على طريقة قسمة نصيب ا ْلخا ر ج قسم عليهم با اسو ية بينهم .
Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian mereka dari mewarisi dengan sesuatu yang sudah maksum. Apabila salah seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris yang lain, maka baginya dihaki dan tempatnya dalam mewarisi harta peninggalan didudukinya. Dan apabila seorang ahli waris bertakharuj dengan ahli waris-ahli waris lainnya, jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta peninggalan, maka bagiannya dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan. Dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan di dalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.”[17]
Takharruj pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan secara damai berdasarkan musyawarah antara para ahli waris. Takharruj merupakan perjanjian yang diadakan antara para ahli waris untuk mengundurkan diri atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan dengan ikhlas, sukarela dan tanpa paksaan.
Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli waris atas keluarnya  atau mundurnya salah seorang ahli waris atau sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.[18]
Harta benda yang seharusnya ia terima dibagikan kepada ahli waris selainnya sesuai dengan bagiannya masing-masing. Dengan demikian dia tidak mengambil bagian yang setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan syara’. Contohnya, seorang ahli waris tidak mengambil bagiannya dan bagian itu diberikan pada orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa dia menghapus bagian warisnya sendiri.[19]
Penyesuaian secara takahrruj adalah sebagai tindakan kebijakan yang hanya digunakan dalam keadaan tertentu bila kemaslahatan dan keadilan membutuhkannya. Hal ini dapat ditempuh dengan maksud meniaakan kesempitan dalam bermuamalah yang ditetapkan Allah. Dengancara ini, kesulitan untuk memecahkan persoalan pembagian kewarisan dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.[20]
Amir Syarifuddin berpendapat bahwa penolakan terhadap takharuj pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu :
a.                          Pembagian harta warisan dengan cara takharuj bertentangan dengan asas ijbari. Hal ini karena ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam faraid bersifat memaksa dan oleh karena itu harus diikuti. Dan jika tidak dilaksanakan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
b.                          Meskipun ada yang menganggap takharuj sebagai jual beli, tetapi jual beli tersebut belum terpenuhi rukunnya, yaitu barang yang diperjualbelikan, yang dalam hal ini adalah bagian ahli waris yang keluar tersebut. Karena harta tersebut belum dibagi, maka bagian ahli waris tersebut belum jelas dan belum dianggap ada, sehingga dianggap belum memenuhi rukun jual beli.[21]

2.      Dasar  Hukum Kebolehan Takharruj

               Pembagian harta warisan dalam bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.  Dasar hukumnya merupakan hasil ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Atsar tersebut berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi sebagai berikut:
ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﻴﻮﺴﻒ ﻋﻤﻦ ﺤﺪﺜﻪ ﻋﻤﺮﻮﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮ ﻋﻦ ﺍﺒﻦﻋﺒﺎﺲ : ﺃﻦﺍﺤﺪﻲ ﻨﺴﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻋﻮﻒ ﺼﻠﺤﻮﻫﺎﻋﻠﻰ ﺜﻼﺜﺔ ﻮﺜﻤﺎﻨﻴﻦ ﺃﻠﻔﺎ ﻋﻠﻰﺃﺨﺮﺠﻮﻫﺎ ﻤﻦ ﻤﻴﺮﺍﺚ.
Artinya:
Dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas:  Salah  seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf  diajak untuk berdamai oleh para ahli waris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.[22]
              Dari atsar sahabat tersebut, dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip musyawarah dan damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima harta warisan suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan puluh tiga ribu dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham.
           Istri (janda)  almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4 orang, dan salah seorang di antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag menyatakan mengundurkan diri dari bagian yang seharusnyaa diterima dengan imbalan pembayaran sejumlah uang.  Bagian Thumadhir adalah  ¼ dari 1/8 atau 1/32 dari keseluruhan harta warisan pewaris.  Baagian tersebut dinilai dengan uang sejumlah 83 dirham atau ada yang menyatakan 83 dinar.
            Selain atsar sabahat, dasar hukum al-takharruj adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan,  perjanjian pembagian harta warisan dengan metode takharruj hukumnya boleh.
            Jadi, takharuj adalah pembagian harta warisan secara damai dengan perinsip musyawarah.  Pembagian harta warisan dengan metode tersebut,  para ahli warislah yang berperan dan berpengarauh dalam menentukan, baik cara pembagiannya maaupun besar bagian para ahli waris.  Pembagian harta warisan dalam bentuk ini dapat saja keluar dari ketentuan pembagian harta warisan yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw., namun atas dasar kesepakatan dan kerelaan antara para ahli waris untuk kemaslahatan para ahli waris.
Penyelesaian secara takharuj adalah bentuk tindakan kebijaksanaan yang hanya digunakan dalam keadaan tertentu, bila kemaslahatan dan keadilan menghendakinya. Hal ini dilakukan tanpa sama sekali menghindarkan diri dari ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT. dengan cara ini suatu kesulitan dalam pemecahan persoalan pembagian warisan dalam keadaan tertentu dapat diselesaikan.[23]
Hukum waris Islam tidak mengenal penolakan waris sebagaimana dikenal dalam hukum waris BW. Dalam hukum waris Islam mengenal asas Ijbari yang berarti peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lainuntuk menjadi ahli waris atau mengeluarkan orang yang berhak menjadi ahli waris.
Hal ini dapat dilihat pula dengan telah ditentukannya kelompok ahli waris oleh Allah SWT sebagaimana diatur dalam Surat An-Nisa Ayat 11, 12, dan 176. Jika ahli waris yang ingin melepas haknya menerima waris dan ingin memberikannya pada ahli waris lain, hukum Islam mengatur tentang melakukan kerukunan dalam pembagian harta waris yang disebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj.[24]
            Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 183 menyebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah amsing-masing menyadari bagiannya.[25]
Pasal tersebut menjadi acuan dalam pembagian warisan secara damai dengan mengedepankan kerelaan bersama, walaupun pasal ini mengakibatkan pembagian warisan yang berbeda dari petunjuk pembagian warisan yang telah ditentukan dalam Bab III Kompilasi Hukum Islam namun hal ini tetap dibenarkan demi tercapainya kemaslahatan diantara para ahli waris.
Dalam pelaksanaan penyelesaian secara takharuj dapat berlaku dalam tiga bentuk. Pertama, kesepakatan dua orang diantara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari pembagian warisan dengan imbalan tertentu yag diberikan oleh pihak lain dari hartanya sendiri.
Kedua, kesepakatan seluruh ahli waris atas keluarnya salah seorang di antara mereka dari kelompok penerima warisan, dengan imbalan yang dipikul bersama dari harta mereka di luar hak yang mereka terima dari harta warisan.
Ketiga, kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang di antaranya dari kelompok penerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta peninggalan itu sendiri.[26]
Bila diperhatikan, bentuk ketiga ini terlihat bahwa masalahnya berbeda dengan dua bentuk sebelumnya karena ahli waris menempuh cara pembagian yang menyimpang dari yang ditentukan dalam hukum kewarisan dan ada kemungkinan lebih atau kurang dari hak yang semestinya diterima. Walaupun pembagian warisan dalam bentuk tahkaruj dibenarkan dalam Islam namun praktik pembagiannya harus tetap memenui syarat-syarat. Di antara syarat-syarat pentingnya adalah harus ada kecakapan hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam warisan.
Hal ini menjadi keharusan karena dalam pembagian warisan dalam bentuk takharuj ada pihak-pihak yang akan menggugurkan atau mengorbankan haknya baik keseluruhan maupun sebagian. Dalam menggugurkan hak milik diperlukan kecakapan untuk bertindak secara hukum.[27]
            Pembagian harta warisan dengan cara perjanjian takharuj telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum warisan Mesir pada pasal 48, yang menjelaskan tentang definsisnya, bentuknya dan cara pembagian harta warisan kepada ahli waris apabila terdapat ahli waris yang mengadakan perjanjian takharuj.[28]
            Dasar yang dipakai oleh ulama yang membenarkan lembaga takharruj ini adalah kerelaan dan kesepakatan pihak yang berhak menerimanya. Di samping itu, ulama juga mendasarkan kepada atsar sahabi meskipun termasuk tidak cukup kuat untuk dijadikan dalil.[29]
B.     BENTUK-BENTUK TAKHARRUJ

Takharuj merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang menyatakan diri keluar, mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris lain.
Bentuknya adalah:
a.       Perjanjian dua pihak.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini adalah terdapat dua pihak, pihak pertama adalah ahli waris yang menyatakan diri keluar dari hak untuk menerima warisan dan menyerahkan bagian warisannya kepada pihak kedua atau ahli waris lain. Selanjutnya pihak kedua (ahli waris lain) menyerahkan sesuatu sebagai tebusan atas harta warisan yang telah diserahkan kepada ahli waris pihak pertama.
b.      Perjanjian jual beli.
Takharuj dalam bentuk ini adalah seakan-akan terjadi trasanki jual beli.  Pihak ahli waris pertama yang telah menyerahkan bagian harta warisannya kepada pihak ahli waris kedua menerima pembelian atau harta  yang diberikan oleh pihak ahli waris yang kedua.
c.       Perjanjian tukar menukar.
Al-takharuj  juga dapat berbentuk tukar menukar barang harta warisan atau barter.  Dalam bentuk ini, pihak yang  telah menyatakan keluar atau mundur dari menerima harta warisan pewaris menerima tebusan  atau barter sebagai alat penukar dari harta warisan yang seharusnya menjadi bagiannya. Tebusan atau barter itu diberikan oleh ahli waris lain yang tidak mengundurkan diri.[30]
Dalam prakteknya, penyesuaian secara takharruj dapat dikategorikan kepada tiga bentuk berdasarkan kesepakatan ahli waris yaitu:
a.       Kesepakatan dua orang di anatara ahli waris untuk keluarnya salah seorang dari menerima harta dengan imbalan tertentu yang diberikan oleh ahli waris lain dari hartanya sendiri.
b.      Kesepakatan ahli waris atas keluarnya salah seorang dari menerima harta warisan dengan imbalan yang dipikul bersama dari harta mereka di luar hak yang akan mereka terima dari harta warisan.
c.       Kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang menerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta itu sendiri.[31]
Dari segi waktu pelaksanaannya, Takharruj dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Sebelum harta warisan dibagi
Artinya kesepakatan yang dilakukan oleh ahli waris dilakukan sebelum dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut ketentuan faraid secara formal. Ini berarti ahli waris berkeinginan untuk menyelesaikan pembagian harta warisan di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
b.      Sesudah harta warisan dibagi
Artinya takharuj dilakukan setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut ketentuan syara’ secara formal dan masing-masing ahli waris telah mengetahui bagiannya masing-masing.[32]
Jika dilihat dari segi imbalan yang diberikan, maka Takharruj dibagi menjadi tiga bentuk, yakni:
a.       Imbalan diberikan dari harta salah seorang ahli waris yang melakukan kesepakatan.
b.      Imbalan diberikan dari harta seluruh ahli waris yang melakukan kesepakatan.
c.       Imbalan diberikan dengan mengambil bagian tertentu dari harta warisan
Artinya para ahli waris disini dapat melakukan kesepakatan dari mana imbalan akan diambil. Hal itu bisa dilihat dari siapa yang melakukan kesepakatan. Bisa saja imbalan diambil dari harta salah seorang ahli waris dan bisa juga dari harta keseluruhan ahli waris. Atau jika disepakati imbalan bahkan bisa diambil dari harta warisan.[33]

C.    CARA MELAKUKAN TAKHARRUJ

1.      Tata Cara Pelaksanaannya Takharruj
Takharruj dapat dilakukan jika seorang ahli waris bersedia menggugurkan sebagian hak warisnya dan memberikannya kepada seluruh ahli waris secara merata atau salah seorang seorang saja di antara mereka yang berhak menerima warisan.[34]
Dalam prakteknya, takharruj dapat dilakukan setelah pembagian harta warisan. Artinya, setelah masing-masing ahli waris menerima hak maka keseluruhan harta dapat dilebur kembali, selanjutnya diadakan pembagian menurut kesepakatan bersama atau kesepakatan beberapa orang terhadap harta mereka.
Hal ini secara praktis harta warisan sudah dilaksanakan pembagiannya sesuai menurut tuntunan Hukum Islam. Oleh karena itu, cara ini dapat diterima karena bersifat dinamis dan dapat memberikan tempat kepada tuntutan amsing-masing ahli waris yang bersepakat.
Takharruj juga diberlakukan sebelum harta warisan dibagi. Cara ini berarti bahwa kesepakatan semua ahli waris adalah di luar cara yang ditentukan oleh syara’. Dalam pengertian khususnya yaitu kesepakatan seluruh ahli waris utnuk keluarnya seseorang atau beberapa orang dari pembagian warisan dengan imbalan tertentu dan diambilkan dari kelompok harta warisan itu sendiri atau di luar harta warisan.[35]
Takharruj juag dapat diselesaikan dalam dua kondisi:
Pertama, hak ahli waris harus dibagikan terlebih dahulu baru kemudian dilebur kembali sisanya yang tidak ingin diambil haknya oleh ahli waris.
Sebagai contoh, jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ayah, anak perempuan dan seorang istri dengan harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang 4.200 dinar. Sang istri setuju mengambil rumah tanpa mengambil bagian uangnya, maka harta warisan berupa uang 4.200 dinar hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayahnya.
Kedua, jika persetujuan terjadi hanya dengan salah seorang ahli waris, maka bagian yang disetujui itu menjadi milik ahli waris yang menerima limpahan ini sehingga ia mendapat dua bagian, yaitu bagian yang dilimpahkan kepadanya dan bagian waris aslinya
Contohnya, jika ahli warisnya terdiri dari dua orang anak laki-laki, anak perempuan dan seorang istri. Kemudian salah seorang anak laki-laki melakukan persetujuan dengan anak perempuan agar anak perempuan tersebut melimpahkan bagian warisannya kepada anak laki-laki tersebut dengan imbalan uang tertentu. Jika disetujui, maka harta hanya dibagikan kepada istri dan dua orang anak laki-laki dengan catatan bagian anak perempuan menjadi milik anak laki-laki yang melakukan persetujuan dengannya.[36]
Adapun untuk tata cara pembagiannya dapat dilakukan dengan beberapa tahap berikut :
a.       Para ahli waris yang berhak menerima harta warisan pewaris terlebih dahulu ditentukan besar bagian masing-masing termasuk ahli waris yang keluar atau mengundurkan diri.
b.      Pihak ahli waris yang mundur/keluar ditetapkan besar bagiannya dari harta warisan pewaris.
c.       Bagian ahli waris yang keluar atau mundur dibayar atau ditebus atau dibarter oleh ahli waris yang tidak mengundurkan diri.
d.      Sisa yang dijadikan barter atau tebusan, dibagi oleh ahli waris yang tidak keluar menurut besar bagian masing-masing.[37]
            Selain itu, dalam persoalan penyelesaiannya at-Takharuj mempunyai tiga bentuk, yakni sebagai berikut.
              Pertama, at-takharuj terjadi dengan salah satu ahli waris. Maksudnya, al-kharij sepakat dengan salah satu ahli waris yang bersedia melepaskan haknya atas harta waris. Ahli waris itu pun bersedia diberikan sejumlah harta yang menjadi pengganti haknya atas harta waris. Harta pengganti yang diberikan kepadanya tidak berasal dari harta waris. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual-beli. Dengan demikian, ahli waris yang memberikan pengganti itu menempati posisi al-kharij (orang yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian warisan al-kharij ditambah bagian aslinya.
              Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: ibu, saudara perempuan seibu, dan 2 saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 30 hektare. Saudara perempuan seibu mengajukan permintaan kepada salah satu saudara kandung, agar ia melepaskan hak warisnya atas tanah. Sebagai penggantinya, saudara perempuan seibu memberikan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00).
              Dalam persoalan ini, pembagian harta waris dilakukan seakan-akan tidak ada al-kharij, sehingga ibu mendapatkan bagian tetap (fardh)-nya yang seperenam (1/6), yaitu 5 hektare, saudara perempuan juga mendapatkan bagiannya yang 5 hektare, dan sisanya dibagi dua untuk 2 orang saudara kandung.berdasarkan pembagian itu, satu orang saudara kandung mendapatkan 10 hektare tanah. Saudara kandung yang tidak terikat perjanjian dengan saudara seibu dapat mengambil bagiannya yang 10 hektare, dan saudara kandung yang lain, yang berjanji akan melepaskan hak warisnya atas tanah seluas 10 hektare, mendapatkan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00) dari saudara perempuan seibu. Dengan demikian, tanah milik saudara perempuan seibu menjadi 15 hektare.
              Kedua, at-takharuj terjadi dengan semua ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij bersedia “keluar” atau melepaskan hakmya atas harta waris jika diganti dengan sejumlah uang, yang bukan harta waris. Uang pengganti itu diserahkan ahli waris-ahli waris yang lain kepadanya. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya kepada ahli waris-ahli waris yang lain. Dengan demikian ahli waris-ahli waris itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai dengan perjanjian tersebut dalam akad takharuj.
            Jika ahli waris-ahli waris itu telah memberikan uang kepada al-kharij senilai dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris, mereka pun mendapatkan bagian dari harta al-kharij sesuai dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris. Namun, jika setiap ahli waris memberikan uang dalam jumlah yang sama untuk al-kharij, harta al-kharij pun dibagi rata untuk mereka.
              Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dan saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 36 hektare. Istri si mayit bersedia keluar atau tidak mengambil bagiannya, jika mendapatkan ganti senilai 2.700 pound (Rp 38.394.000) yang diserahkan oleh ibu dan saudara kandung si mayit, senilai dengan bagian mereka berdua dalam mewarisi.
              Untuk mengetahui jumlah warisan yang didapat setiap ahli waris, kita harus mengetahui bagian setiap ahli waris terlebih dahulu. Berikut cara menghitungnya:

Ahli Waris
Istri
Ibu
Saudara Kandung
Dasar Pembagian
¼
1/3
Sisa/’ashabah
Asal masalah : 12
Bagian Ahli Waris
3
4
5

Kadar satu bagian: 36 : 12 = 3 hektare.
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
·         Istri                                          : 3 x 3 = 9 hektare
·         Ibu                                           : 4 x 3 = 12 hektare
·         Saudara kandung                    : 5 x 3  =15 hektare
            Harta waris yang menjadi hak si istri (9 hektare), yang tidak diambil karena sudah dibeli, dibagi untuk ibu dan saudara si mayit. Dengan demikian, jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung si mayit, sebagai berikut.
·         Ibu                                           : [ 12 + (4/9 x 9)] =16 hektare.
·         Saudara kandung                    : [ 15 + (5/9 x 9)] = 20 hektare.
              Cara menghitung jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung di atas, dilakukan sesuai dengan pengganti yang diberikan oleh mereka untuk istri si mayit. Pengganti itu senilai dengan bagian ibu dan saudara kandung dalam mewarisi harta si mayit. Namun, jika ibu dan saudara kandung memberikan pengganti dalam jumlah yang sama untuk istri si mayit, harta istri si mayit pun dibagi rata untuk mereka.
            Ketiga, at-takharuj dengan para ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij mengajukan usul supaya dia “dikeluarkan” atau tidak diberikan harta waris yang menjadi bagiannya dengan imbalan tertentu, baik berupa uang atau benda yang diambil dari warisan. Proses takharuj ini sebenarnya adalah pembagian yang tidak sempurna antara al-kharij, yang melepas bagiannya, dengan ahli waris-ahli waris lain, yang memiliki sisa warisan. Bentuk ini pada hakikatnya sama dengan qismah (hukum pembagian), bukan jual-beli. Bentuk ini merupakan bentuk yang sering terjadi di masyarakat.
              Dalam keadaan ini, kita membagikan harta waris kepada seluruh ahli waris –termasuk al-kharij- seakan-akan tidak ada yang keluar. Setelah itu, kita gugurkan bagian al-kharij dari asal masalah, ‘aul, atau tash-hih-nya, sebagaimana kita menggugurkannya dari warisan, lalu kita jadikan bagian sisa sebagai asal masalah. Setelah itu, harta waris dibagi berdasarkan asal masalah ini. Perhatikan beberapa kasus atau contoh berikut ini:
            Contoh pertama, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris : suami, anak laki-laki, dan anak perempuan serta harta waris yang terdiri dari satu rumah dan 30 hektare tanah. Dalam kasus ini, suami “keluar” atau meninggalkan bagiannya dengan imbalan rumah. Dengan demikian, cara pembagian harta waris dapat dilakukan sebagai berikut.
Ahli Waris
Suami
Anak Lelaki dan Anak
Perempuan
Dasar Pembagian
¼
Sisa/’ashabah

Asal Masalah : 4

Bagian Ahli Waris
1
3,
2 untuk anak lelaki, 1
Untuk anak perempuan

            Kemudian kita “keluarkan” bagian suami, sehingga tersisa 3 bagian. Kita bagi tanah yang 30 hektare itu menjadi 3 bagian. Kadar satu bagian: 30 : 3 = 10.
            Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
·         Anak laki-laki = 2 x 10 = 20 hektare.
·         Anak perempuan = 1 x 10 = 10 hektare.
·         Suami mendapatkan rumah.
              Contoh kedua. Seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan paman kandung dari pihak bapak. Si mayit meninggalkan harta waris senilai 3.000 pound (Rp 42.660.000,00) dan sebuah rumah yang diminta oleh suami sebagai imbalan pengunduran dirinya sebagai ahli waris.
Penyelesaian
Ahli Waris
Suami
Ibu
Paman kandung
Dasar Pembagian
½
1/3
Sisa/’ashabah
Asal masalah : 6
Bagian ahli waris
3
2
1
           
            Kemudian, kita gugurkan bagian suami dengan imbalan rumah tadi. Dengan demikian, jumlah harta waris yang tersisa adalah 3 (2 bagian untuk ibu dan 1 bagian untuk paman).
Kadar satu bagian : 3.000 : 3 = 1.000 pound.
            Harta waris yang diperoleh ibu dan paman adalah sebagai berikut:
·       Ibu   : 2 x 1.000 = 2.000 pound (Rp 28.440.000,00)
·        Paman : 1 x 1.000 = 1.000 pound (Rp 14.220.000,00)
Dalam kasus ini, tidak boleh dikatakan bahwa ketika suami sudah keluar dari kelompok ahli waris, proses pembagian harta waris dilakukan sebagaimana suami tidak ada atau sudah meninggal, sehingga harta waris dibagikan hanya untuk ibu dan paman. Sebab, jika kita melakukan itu, pasti akan membawa perubahan pada bagian ibu yaitu dari sepertiga (1/3) bagian tetap menjadi (1/3) bagian sisa yaitu 1.000 pound, setelah diambil oleh suami. Kalau hal ini dilakukan, berarti kita menyalahi ijma’ yang menyebutkan bahwa ibu mendapatkan (1/3) dari harta waris dalam masalah ini. Hal tersebut tidak sesuai dengan akad takharuj, di mana mereka berdua rela meninggalkan bagiannya, ditukar dengan uang atau barang yang lain.[38]
Berikut adalah tata cara pelaksanaan Takharruj :
a.       Kenali pokok masalahnya, kemudian keluarkan ahli waris yang mengundurkan diri, sisanya bagikan pada ahli waris yang berhak.
Contoh:
            Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Misalnya, pewaris meninggalkan sebuah rumah dan uang sebanyak 42 juta rupiah. Kemudian, istri menyatakan dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah 42 juta itu. Dalam keadaan demikian, harta warisan tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah. Kemudian jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya.
            Pokok masalahnya 24, kemudian hilangkan hak istri, yakni seperdelapan dari 24, berarti tiga. Lalu sisanya (24-3= 21) menjadi pokok masalah bagi ayak dan anak perempuan.
Pembagiannya:
            42.000.000 : 21 = 2.000.000
Anak perempuan         12 x 2.000.000 = 24.000.000
Ayah                             9 x 2.000.000 = 18.000.000
Totalnya 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000

b.      Apabila salah seorang ahli waris menyerahkan haknya lalu membeikannya kepada salah satu ahli waris lainnya, pembagiannya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri kepada orang yang ditunjuknya.[39]

2.      Contoh Kasus dan Analisa Takharruj

Deskripsi: Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris suami, anak perempuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar Rp 48.000.000,00. Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
Analisa kasus:
Pembagian sebelum takharuj:
1.      anak perempuan : ½ : 6 (diberikan sebuah rumah)
2.      suami : ¼ x12 : 3
3.      ibu : 1/6 : 2 Rp 48.000.000,00
4.      sdr. Laki sebapak : ashabah : 1

Pembagian sesudah takharruj:
Perjanjian takharuj di atas termasuk dalam bentuk takharuj di mana adanya kesepakatan semua ahli waris atas keluarnya salah seorang menerima warisan dengan imbalan tertentu dari harta itu sendiri. Maka penyelesaiannya sebagai berikut:
1.      Anak perempuan mendapatkan harta peninggalan sebuah rumah sesuai dengan perjanjian.
2.      Suami  3/6 X Rp 48.000.000,00à:3 = Rp 24.000.000,00
3.      Ibu  2/6 X Rp 48.000.000,00à:2 = Rp 16.000.000,00
4.       Sdr. Selaki Sebapak  1/6 X Rp 48.000.000,00à:1 = Rp 8.000.000,00[40]




















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1.      Takharuj merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang menyatakan diri keluar, mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris lain. 
2.      Beberapa bentuk dari takharruj ialah perjanjian dua pihak, perjanjian jual beli dan perjanjian tukar menukar. Jika dilihat dari segi waktu pembagiannya, maka bentuk takharruj ada dua yakni sebelum pembagian warisan dan sesudah pembagian warisan.
3.       Dalam prakteknya, takharruj dapat dilakukan setelah pembagian harta warisan. Takharruj juga diberlakukan sebelum harta warisan dibagi. Cara ini berarti bahwa kesepakatan semua ahli waris adalah di luar cara yang ditentukan oleh syara’.







DAFTAR PUSTAKA

M., Hajar. 2014. Polemik Hukum Waris. Pekanbaru:Suska Press.
Al-Sabouni, Muhammad Ali. 2015. Hukum Kewarisan ; Menurut Al-qur’an dan _____Sunnah.  Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.



[2] Hajar M., Polemik Hukum Waris, (Pekanbaru:Suska Press, 2014), h., 86.
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)., h., 325.
[5] Hajar M., Op. Cit. Lihat juga : Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,296.
[6] Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan ; Menurut Al-qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2015), h., 200.
[7] Hajar M, Op. Cit.
[9] Muhammad Ali Al-Sabouni, Op. Cit. Lihat juga : Amir Syarifuddin, Op. Cit. Lihat juga : Beni Ahmad Saebani, Op. Cit. Lihat juga : Hajar M., Op. Cit,  h., 86-87.
[11] Hajar M, Op. Cit.
[12] https://ksradamksr.files.wordpress.com diakses pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 10.49.
[14] Ibid. Lihat juga : Amir Syarifuddin, Op. Cit.
[15] https://ksradamksr.files.wordpress.com diakses pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 10.49.
[16] Hajar M, Op. Cit.
[17] Ibid.
[20] Hajar M, Op. Cit, h., 89.
[22] Hajar M, Op. Cit, h., 87.
[24] Ibid.
[25] Hajar M, Op. Cit, h., 89.
[27]Ibid.
[29] Amir Syarifuddin, Op. Cit, h., 301-302.
[30] Ibid.
[31] Hajar M, Op. Cit, h., 88. Lihat Juga : Amir Syarifuddin, Op. Cit, h., 299-301.
[32]Amir Syarifuddin, Op. Cit, h., 298-299.
[34] Muhammad Ali Al-Sabouni, Op. Cit.
[35] Hajar M, Op. Cit, h., 87.
[36] Muhammad Ali Al-Sabouni, Op. Cit, h., 200-202.
[38] https://ksradamksr.files.wordpress.com diakses pada tanggal 16 Oktober 2017 pukul 10.49.
[39]Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h., 326.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ushul Fiqh : Ta'arudh al-adillah

Makalah Hadist Ahkam tentang Zakat