Makalah Ushul Fiqh : Ta'arudh al-adillah
Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623
BAB I
Hub : 081378337623
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang
luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan
manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan
tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam
menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Ta’arudh
al-adillah adalah suatu istilah yang dijumpai
dalam Ilmu Ushul Fiqh. Secara etimologi ta’arudh yaitu
saling bertentangan atau
pertentangan antara dua perkara.
Adapun Ta’arudh
al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah Berhadap-hadapan
dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.
Sebenarnya, tidak ada dalil nash
yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut
pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh
mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’I maupun zanni.
Dalam
keberangsuran turunnya wahyu ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya (ta’arudh al-adillah). Hal ini sering dijadikan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang
ingin menyesatkan umat Islam. Misalnya dengan menganggap perbedaan pendapat
(penyimpangan pendapat) sebagai hal yang juga ditemukan dalam tasyri’
hukum Islam. Untuk itu, kita harus mengetahui bagaimana melihat konteks yang
bertentangan tersebut.
Hal inilah yang
mendorong penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul “Ta’arudh
al-adillah”. Selain itu, makalah ini ditulis juga di latar belakangi untuk
memenuhi tugas Ushul Fiqh II di mana penulis ditunjuk untuk menyajikan makalah
dengan judul tersebut.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
yang di maksud dengan “Ta’arudh al-adillah” dan apa sajakah yang
termasuk ke dalam Ta’arudh al-adillah?
2.
Bagaimana
cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui maksud dari “Ta’arudh al-adillah” dan macam-macam Ta’arudh
al-adillah.
2.
Untuk
mengetahui cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Secara etimologi ta’arudh
yaitu saling bertentangan[1] atau
pertentangan antara dua perkara.[2]
Dilihat dari asal katanya, ta’arudh berasal dari kata ‘aradha.[3]
Prof. Alaiddin
Koto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh mengakatan bahwa ta’arudh
berasal dari kata ‘arudh yang memiliki arti taqabul dan tamanu’
atau bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama Ushul mengartikan ta’arudh
ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan[4]
apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain.[5]
Sedangkan adillah (الْأَدِلَّةُ) adalah jama’ dari dalil (الدَّلِيْلُ) berarti alasan, argumen, dan dalil.[6]
Sedangkan secara terminologi, ta’arudh
yaitu:
تَعَارَضَ البَيَّنَاتُ لِاَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ تَعْتَرِضُ
الْاُخُرىَ وَتَمْنَعُهَا
“Ta’arudh
bukti-bukti karena masing-masing menentang yang lain dan mencegah berlakunya.”
Ali
Hasabillah mengemukakan ta’arudh
al-adillah sebagai berikut:
التَّعَا رُضث اَنْ يَقْتَضِى اَحَدُ الَّ لِيْلَيْنِ التَسَاوِ يَنِ
فِى مَرْتَبَةِ الشُّبُوْتِ نَقِيْض مَا يَقْتَضِيَهُ الْاَخَر
“Ta’arudh
itu hendaknya satu dari dalil yang sama martabat tsubutnya mengandung ketentuan
yang bertentangan dengan ketentuan dalil yang lain.”[7]
Menurut Wahbah
Zuhaili: “terdapat dua dalil, salah satunya menunjukkan hukum yang berbeda
dengan hukum yang dikehendaki oleh nash dan yang lainnya.”[8]
Adapun Ta’arudh
al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah:
تَقَابَلَ الدَّ لِيْلَيْنِ عَلَى سَبِيْلِ المِمَا نَغَةِ
“Berhadap-hadapan
dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.”[9]
Ulama
Ushul melihat bahwa ta’arudh tidak hanya terjadi di sekitar ayat-ayat
Al-Quran dan Hadist, tetapi juga di antara dua qiyas antara
kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil yang menyebabkan berbeda pula
produk hukum yang dihasilkan.[10]
Yang perlu
ditegaskan dalam pengertian ta’arudh ini ialah permasalahannya ada
ketentuan waktunya, sehingga pengertian Ta’arudh dapat disimpulkan
menjadi :
اِقْتِضَءُ نُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الدَّلِيْلَيْنِ فِى وَقْتٍ حُكْمًا
فِى الوَا قِعِةِ يُخَالِفُ مَا يَقْتَضِيَهُ الدَّ لِيْلُ الْاَ خَرُ فِيُهَا
“Masing-masing
dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu kejadian, yang
menyalahi hukum yang dikehendaki dalil yang lain.”
Dari
pengertian di atas, ada lima ketentuan dalam pengertian ta’arudh, yakni:
1.
Adanya
dua dalil.
2.
Sama
martabat atau derajat keduanya.
3.
Mengandung
ketentuan yang berbeda.
4.
Berkenaan
dengan masalah yang sama.
5.
Menghendaki
hukum yang sama dalam satu waktu.[11]
Sebenarnya menurut Wahbah Zuhaili,
tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’
itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka
pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’I
maupun zanni. Pendapat Wahbah Zuhaili ini berdasarkan kepada firman
Allah dalam surah An-Nisa ayat 82:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ
فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S An-Nisa’ [4] : 82).[12]
Abdul Wahab
Khallaf sependapat dengan Wahbah Zuhairi, menurutnya yang perlu diperhatikan
dalam memahami Ta’arudh
al-adillah, bahwasannya tidak terdapat
kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat atau antara dua hadist yang shahih
atau antara ayat dan hadist shahih. Jika kelihatannya ada kontradiksi itu hanya
lahirnya saja sesuai dengan yang tampak pada akal. Bukan kontradiksi yang
sebenarnya. Alasannya adalah karena Allah tidak mungkin mengeluarkan dua hukum
yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam satu waktu.[13]
Lebih
lanjut Abdul Wahhab Khallaf berpendapat, apabila dua nash saling bertentangan
menurut lahiriyahnya, maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka
menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang shahih dari
berbagai cara penggabungan dan penyesuaian : Jika hal tersebut tidak mungkin
dilakukan, maka wajib dilakukan pengkajian dan ijtihad dalam rangka
mentarjihkan salah satu dari kedua nash itu dengan salah satu cara tarjih.
Kemudian jika hal ini tidak mungkin dan itu juga tidak mungkin, sedangkan
sejarah kedatangan kedua nash itu diketahui, maka nash yang menyusul menasakhkan
nash yang tedahulu; dan jika sejarah kedatangan nash itu tidak diketahui, maka
pemberlakuan terhadap kedua nash itu ditangguhkan. Apabila dua qiyas dan dua
dalil selain nash bertentangan, dan tidak mungkin mentarjih salah satu dari
keduanya, maka istidlal[14]
dengan kedua qiyas atau dua dalil ini dikesampingkan.[15]
Oleh
karena itu, ta’arudh di sini perlu dipahami sebagai pertentangan dalam
nash menurut tanggapan manusia ketika memahami nash itu sendiri. Karena manusia
tidak mungkin akan mengetahui makna hakiki dan mutlak sebagaimana adanya dalam
konsep Allah. Pertentangan tersebut adalah semata-mata keterbatasan manusia
dalam menangkap pesan-pesan syar’i yang sedang mereka pelajari.[16]
Hal
penting yang perlu diketahui tentang ta’arudh adalah bahwa “kontradiksi
dua dalil syara’ tidak mungkin terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama
kuatnya.” Apabila salah satu dari dua dalil ada yang lebih kuat maka yang
diamalkan adalah dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, tidak akan terjadi
kontradiksi antara dalil yang qath’i dan dalil yang zhan, antara
nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas.
Kontradiksi hanya dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadist yang
mutawwatir atau antara dua qiyas.[17]
B. SYARAT-SYARAT TA’ARUDH AL-ADILLAH
Ada lima
ketentuan dalam ta’arudh untuk mengetahui apakah suatu dalil tersebut
bisa dikatakan bertentangan seperti pada penjelasan dari pengertian ta’arudh
itu sendiri, yakni:
1.
Hukum
kedua dalil tersebut saling bertentangan seperti halal dengan haram, wajib
dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan.
2.
Objek
hukum yang bertentangan tersebut sama.
3.
Waktu
berlakunya hukum tersebut sama.
4.
Hubungan
kedua dalil yang saling bertentangan sama.
5.
Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan
tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
C.
MACAM-MACAM
TA’ARUDH
AL-ADILLAH
Secara umum, ada
4 (empat) macam ta’arudh
al-adillah:
1.
Ta’arudh
antara Al-Quran dengan Al-Quran.
Firman Allah
swt:
وَٱلۡخَيۡلَ
وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ ...٨
“dan (Dia telah
menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan...” (Q.S An-Nahl [16]: 8).
Dalam ayat ini,
kuda dan bighal hanya diperuntukkan untuk kendaraan dan hiasan saja, sedang
ayat ini mengandung ketentuan lain.
ٱللَّهُٱلَّذِي
جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَنۡعَٰمَ لِتَرۡكَبُواْ مِنۡهَا وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٧٩
“Allahlah yang
menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan
sebagiannya untuk kamu makan.” (Q.S Ghafir [40]: 79).
Pengertian
an’am pada ayat di atas meliputi kuda dan bighal, sehingga di samping
kuda dan bighal itu bisa dikendarai juga bisa untuk dimakan.[18]
Serta
pada dalil berikut :
وَٱلَّذِينَ
يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٣٤
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 234).
Nash ini berdasarkan keumumannya
menghendaki bahwasanya setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan empat bulan sepuluh hari, baik
wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak.
Sedangkan
dalam ayat berikut, Allah berfirman sebagai berikut :
...وَأُوْلَٰتُ
ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ... ٤
“...Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya...”
(Q.S At-Thalaq [65] : 4).
Nash
ini sesuai dengan keumumannya menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang hamil,
iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal
mati suaminya atau tidak. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam
keadaan hamil, merupakan suatu kasus dimana nash yang pertama menghendaki bahwa
iddahnya berakhir dengan masa tunggu empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash
yang kedua menghendaki iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Jadi
dua nash tersebut saling bertentangan pada kasus ini.
Dua
ayat di atas harus dikompromikan. Jika istri yang ditinggal suaminya sedang
hamil, maka hendaknya ber-iddah dengan salah satu yang lebih dari dua
ketentuan di atas. Seandainya ia melahirkan kandungannya sebelum empat bulan
sepuluh hari dari tanggal wafat suaminya, maka ia harus menanti sampai sempurna
empat bualn sepuluh hari. Apabila dalam empat bulan sepuluh hari ia belum juga
melahirkan, maka iddah-nya sampai ia melahirkan.[19]
Contoh
lain ada pada surah Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
(Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
Dengan
surah berikut ini :
يُوصِيكُمُٱللَّهُ
فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ... ١١
“Allah
mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan...”
(Q.S An-Nisa’ [4] : 11).
(Q.S An-Nisa’ [4] : 11).
Ayat yang pertama mewajibkan
terhadap orang yang mewariskan, apabila ia mendekati kematiannya untuk
berwasiat harta peninggalannya untuk kedua orang tuanya dan karib kerabatnya
dengan cara yang makruf. Ayat yang kedua mewajibkan kepada masing-masing dari
orang tua, anak-anak dan karib kerabat suatu hak yang dari harta peninggalan
sesuai dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewariskan. Kedua ayat
tersebut saling bertentangan secara lahiriyah, dan memungkinkan untuk
mengadakan penyesuaian antara keduanya, dengan cara bahwa yang dimaksud pada
surah al-Baqarah adalah dua orang tua dan karib kerabat terhalang mendapat
warisan oleh suatu penghalang sebagaimana perbedaan agama.
Contoh lain yang dapat dikemukakan
di sini yaitu :
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ... ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 3).
Ayat ini
tampaknya ta’arudh dengan firman Allah swt yang berbunyi :
قُل
لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ
إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ... ١٤٥
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...” (Q.S Al- An’am [6] : 145).[20]
2. Ta’arudh
Al-qur’an
dengan Sunnah
Terdapat dalam Surah Al-Baqarah
ayat 180:
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
Sedangkan hadis Rasulullah Saw
menyatakan sebaliknya :
اِنَّاللهَ
قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia
berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya
Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada
wasiat kepada ahli waris.” (H.R Tarmidzi)
3. Ta’arudh
Sunnah dengan Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ وَاُمِّ سَلاَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبَا مِنُ جِاَعٍ
ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ. (متفق عليه)
“Dari Siti
‘Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub
karena melakukan jima’ kemudian mandi dan menjalankan puasa.” (H.R Bukhari
Muslim).
Hadist ini
bertentangan dengan hadist yang berbunyi :
اِذَكُودِىَ لِلصَّلاَةَ الصُّبْحِ وَاَحَدُكُمْ جُنُبَا فَلاَ
يَصُومْ يَوْمُهُ. (روه امام أحمد وابن حبان)
“Bila telah
dipanggil untuk sembahyang Subuh, sedang salah satu di antaramu dalam keadaan
junub maka jangan puasa di hari itu.” (H.R Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).[21]
Contoh lain yaitu
tentang riba :
لَا رِبَا اِلَّا فِى النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba
kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang).” (H.R Bukhari
dan Muslim).
Hadist di atas
menjelaskan bahwa riba hanya terdapat adalah nasiah.[22]
Sedang dalam hadist lain Rasulullah bersabda :
لَا تَبِعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ اِلَّا مَثَلًا بِمَثَلٍ
“Jangan kamu
jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (H.R Bukhari dan
Muslim).
Dari dua hadist di
atas tampak terlihat adanya pertentangan mengenai hukum riba. Hadist pertama
menjelaskan bahwa riba hanya terdapat pada jual beli sedangkan hadist kedua
melarang riba fadl[23]
kecuali menukar benda yang sejenis. Jika dikompromikan kedua hadist di atas
maka dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan ialah riba nasiah
sedangkan riba fadl dibolehkan jika benda yang ditukar itu sejenis.[24]
4.
Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas
Ta’arudh kedua dalil
ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam menetapkan hukum
kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual beli unta atau
kambing yang diikat puting susunya agar kelihatan besar, sedang setelah dibeli
dan diperah air susunya terbukti adanya ghahar.
Sabda Nabi Muhammad saw :
“Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar
kelihatan besar), barang siapa membelinya sesudah terjadi demikian, maka boleh
memilih di antara dua pandangan yang dianggap baik bila menghendaki boleh
melangsungkan jual beli itu, atau mengembalikannya dengan membayar satu sha’
dari tamar.” (H.R Muthafaqun
‘Alaih dari Abi Hurairah).
Dalam hadist ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian unta
atau kambing itu pembeli dengan membayar satu sha’ dari tamar. Ini
pendapat Jumhur. Ulama Hadawiyah berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan
perahan susu itu bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga air
susu itu, hal ini diqiyaskan pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak
barang orang lain, maka pihak yang menggunakan barang orang lain itu mengganti
sejumlah atau senilai dengan yang telah dipergunakan.
Ta’arudh antara qiyas
dan sunnah ini dapat juga dikemukakan, tentang ukuran ‘aqiqah berdasarkan
sunnah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, didasarkan pada
hadist :
اَلْعِقَيُقَةُ حَقٌّ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَا فَئَتَانِ
وَعَنِ الْجَارِ يَةِ شَاةٌ
“’Aqiqah
itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk
perempuan seekor kambing.” (H.R Asma
binti Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas, maka untuk aqiqah ini boleh hewan
yang lebih besar seperti unta dan sapi. Ini pendapat hampir sebagian para
fuqaha. Sedang yang berpegang pada hadist di atas ialah Imam Malik, bahwa
‘aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.[25]
5.
Ta’arudh
antara Qiyas dengan Qiyas
Muhammad Abu Zahra mencontohkan tentang perwalian. Aliran Hanafiah
memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran Syafi’i tentang illat perwalian bagi anak perempuan. Menurut Imam
Abu Hanifah, illat perwalian adalah sighar (keadaan di bawah
umur), oleh karena itu hak perwalian hilang apabila anak itu sudah sampai usia
baligh.
Adapun menurut Imam Syafi’i, illat-nya adalah bukarah
(kegadisan), jadi hak perwalian hilang apabila anak sudah melangsungkan
pernikahan, walaupun belum sampai usia baligh, dan hak perwalian tetap ada
walaupun usia sudah sampai baligh tetapi belum menikah.[26]
Contoh lain dari ta’arudh antara qiyas dengan qiyas itu
ialah terhadap masalah perkawinan Rasulullah dengan siti ‘Aisyah sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
وَعَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ : تَزَوَّجَنِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ لِسَتِ سِنِيْنَ وَبَنِيَى بِى وَانَا بِنْتُ تِسْحِ
سِنِيْنِ. (رواه مسلم عن عائسة)
“Dari
‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah saw mengawini saya ketika saya berumur enam
tahun dan mengumpuli ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan
tahun.” (H.R Muslim dari ‘Aisyah).
Atas dasar hadist ini, diambil hukum kebolehan mengawinkan orang
tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan masih di
bawah umur, demikian pendapat Hanafiah. Sedang ulama Syafi’iyah menganggap
karena kegadisannya. Dengan demikian, kalo telah tasyib sekalipun masih belum
dewasa orang tua tidak mempunyai hak ijbar.[27]
D.
CARA
PENYELESAIAN
Apabila ditemukan dua dalil yang
kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan
keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan
apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak
menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang
lain.
Para ulama ushul telah merumuskan
tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada
suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang
berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Menurut Abdul Wahab Khallaf, jalan
keluar bila didapati ta’arudh adalah sebagai berikut:
1.
Bila
terjadi ta’arudh wajiblah diadakan ijtihad dengan mengadakan jamak dan
taufik di antara keduanya.
2.
Bila
tidak bisa dilakukan demikian, dilaksanakan tarjih menurut jalan-jalan yang
telah ditetapkan.
3.
Bila
tidak juga bisa dilakukan tarjih, maka dicari mana yang lebih dahulu dan yang
kemudian wurudnya, untuk dinyatakan nasikh mansukh.
4.
Bila
tidak juga bisa dicari mana yang dinyatakan nasikh mansukh, maka ditawaqufkan
keduanya.
Untuk lebih jelasnya, maka urutan-urutan jalan keluarnya adalah
sebagai berikut :
1.
Bila
ta’arudh itu antara ayat dengan ayat, maka yang diprioritaskan adalah
dengan mengadakan jama’ dan taufiq.
2.
Bila
antara sunnah dengan sunnah, dilakukan jama’ taufiq kemudian tarjih. Bila tidak
dapat dilakukan tarjih dicari mana yang lebih dahulu wurudnya dan mana yang kemudian.
Yang kemudian dinyatakan nasikh dan yang dahulu dinyatakan mansukh.
3.
Bila
antara sunnah dengan qiyas, maka dibedakan :
a.
Bila
hal itu urusan ibadah, maka dinyatakan ta’arudh tidak ada, karena qiyas
tidak dipergunakan dalam ibadah, dengan kata lain kita tinggalkan qiyas dan
kita pakai sunnah.
b.
Bila
ta’arudh itu bukan urusan ibadah, maka kita adakan jama’ dan taufiq,
dalam arti kita takwilkan arti pada sunnah itu sehingga sesuai qiyas.
4.
Bila
antara qiyas dengan qiyas, maka langsung kita tarjihkan. Yang rajih kita pakai
dan yang marjuh kita tinggalkan.[28]
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai
berikut:
1.
Mengamalkan dua
dalil yang kontradiksi (Jam’u wa Taufiq)
Yaitu mempertemukan
dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan
kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak
terlihat lagi adanya kontradiksi.
Maksud dari
cara ini adalah agar kedua dalil yang tampaknya ta’arudh menjadi tidak ta’arudh
dan bisa dipergunakan keduanya.[29]
Perbedaan jam’u
dan taufiq yaitu jam’u adalah usaha-usaha untuk mengumpulkan
atau menggabungkan dalil-dalil yang kontradiksi, sedangkan taufiq adalah
usaha untuk mengkompromikan hal-hal yang telah ditemukan dari proses jam’u.[30]
Contoh misalnya firman Allah swt dalam surah Al
Maidah ayat 3:
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ ... ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 2).
Ayat di atas tidak menjelaskan tentang jenis
darah dan tidak membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah
beku. Kemudian ada ayat lain dalam surah Al An’am ayat 145:
قُل
لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ
إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ... ١٤٥
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...” (Q.S Al- An’am [6] : 145)
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa
darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
2.
Mengamalkan satu dalil diantara dua
dalil yang berbenturan
a. Nasakh
Dari segi bahasa, nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan
atau penghapusan. Sedangkan definisi menurut ulama Ushul Fiqh, yang mashur ada
dua yaitu :
بَيَانُ انْتِهَاءِ اَمَدِّ حُكْمٍ شَرِعِيٍّ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ
مُتْرَاخٍ عَنْهُ.
“Penjelasan
berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syari’ yang datang
kemudian.”
رَفْعِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَنِ اْلمُكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
مِثْلِهِ مُتَأَخِّرٍ.
“Pembatalan
hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’
yang sama yang datang kemudian.”[31]
Para ahli Ushul Fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa
dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1)
Pembatalan
itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah
dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus).
2)
Yang
dibatalkan adalah adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3)
Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan
demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.[32]
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh itu dibolehkan,
didasarkan pada firman Allah swt :
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ
مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ
قَدِيرٌ ١٠٦
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 106).[33]
Perbedaan Nasakh
dengan takhsis
Nasakh dan takhsis
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain, terletak pada
fungsinya, yakni membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk
mengkhususkan sebagian kandungan dari
suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya
hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada
masa tertentu.
Adapun perbedaan di antara keduanya adalah : takhsis
merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku
khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh
menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nash dan
yang sebelumnya telah berlaku.
Rukun Nasakh
(1)
Adat
an-nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum
yang telah ada.
(2)
Nasikh adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang ada. Pada
hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah swt, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
(3)
Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Syarat-syarat Nasakh
(1)
Yang
dibatalkan adalah hukum syara’.
(2)
Pembatalan
itu datangnya dari tuntutan syara’.
(3)
Pembatalan
hukum tidak disebabkan berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
(4)
Tuntutan
yang mengandung nasakh harus datang kemudian.[35]
Salah satu contoh nasakh yaitu terdapat dalam hadist Nabi
tentang ziarah kubur:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَة الْقَبْرِ فَزُوْرُوْهَا. (رواه
مسلم)
“Dahulu saya
melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi kini ziarahlah.” (H.R Muslim).
Contoh
lain terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
Ayat di atas di nasakh oleh hadis
Rasulullah Saw:
اِنَّاللهَ
قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia
berkata, aku mendenganr Rasulullah Saw. Bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya
Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada
wasiat kepada ahli waris.” (H.R Tarmidzi).[36]
b.
Metode tarjih
Secara etimologi, tarjih
berarti “menguatkan”.
Menurut
Ulama Hanafiyah, tarjih secara terminologi yaitu :
“Memunculkan
adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat),
dengan tambahan yang berdiri sendiri.”
Sedangkan,
pengertian tarjih secara terminologi menurut Jumhur Ulama ialah :
“Menguatkan
salah satu dalil yang zhanni dari yang lsinnya untuk diamalkan berdasarkan
dalil tersebut.”[37]
Contoh Tarjih
Hadis Rasulullah Saw. Berikut:
Dari Abdurrahman bin Auf ia
berkata, adalah Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa yang junub sampai tiba
waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya.”(HR Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadis:
Dari Rasulullah dan Ummu Salamah
istri Nabi Saw. Bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw masih dalam keadaan
junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau puasa.” (HR
Malik)
Kedua hadis di atas terjadi ta’arudh,
namun ulama mengatakan dalil hadis kedua (riwayat Aisyah dan Ummu Salamah lebih
kuat) dari pada hadis riwayat Abu Hurairah.[38]
3.
Meninggalkan dua dalil yang
berbenturan
a. Tawaquf
Secara
bahasa berarti berhenti atau sikap untuk tidak mengamalkan terhadap dalil-dalil
yang terlihat kontradiksi. Ketika mencari jalan keluar terhadap dalil-dalil
yang terlihat saling bertentangan telah dilalui semua, tetapi masih saja
menemui jalan buntu maka tidak ada cara lain kecuali tawaquf.[39]
Tawaquf dilakukan menangguhkan pengamalan dalil
tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan
salah satu di antara keduanya.
b. Metode
Tasaquth al-dalilain
Yaitu
meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
Maka, langkah yang harus ditempuh adalah dengan mengambil keterangan yang lebih
rendah dari Al-qur’an, yaitu Sunnah. Apabila tetap bertentangan, maka diambil
metode qiyas.
Kedua
metode ini belum pernah ditempuh oleh para ulama karena tidak ada persoalan
hidup di dunia ini yang lepas dari ayat atau hadist. Metode ini dibuat sekedar
untuk persiapan kalau ada permasalahan yang memang lepas dari dalil-dalil
Al-quran maupun hadist.
Tahapan
Penyelesaian Ta’arudh al-adillah Menurut Para Ulama
Metode Hanafiyyah
|
Metode Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
|
1.
Nasakh
|
a.
Al-Jam’u
wa Al-Taufiq
|
2.
Tarjih
|
b.
Tarjih
|
3.
Al-Jam’u
wa Al-Taufiq
|
c.
Nasakh
|
4.
Tasaqut Al-Dalilain
|
d.
Tasaqut
Al-Dalilain
|
Berikut
penjelasan mengenai beberapa perbedaan antara keduanya, yaitu antara lain:
a. Tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang
mujtahid untuk menolak pertentangan menurut madzhab Hanafiyah
adalah me-nasakh. Adapun menurut madzhab Syafi’iyah,
tindakan petama yang harus dilakukan adalah mengkompromikan (jama’) kedua nash
yang saling bertentangan tersebut.
b. Madzhab Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih, sehingga
tidak boleh mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang bertentangan tersebut
tidak dapat dikompromikan. Sedangkan madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih
daripada jama’, karena mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil
lainnya dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan pendapat
yang telah disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka memandang bahwa jika
jama’ lebih didahulukan daripada tarjih, maka hal itu berarti mendahulukan
dalil yang tidak diunggulkan dan meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang bahwa jama’ adalah metode yang
tidak diunggulkan. Metode yang lebih unggul adalah mengamalkan dalil yang lebih
unggul dengan cara mentarjihnya. Mereka juga berpendapat bahwa menggunakan
tarjih bukan berarti menonaktifkan atau meninggalkan salah satu dari dalil yang
bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Ta’arudh
al-adillah yaitu pertentangan antara dua dalil
di mana masing-masing dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu
kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki dalil yang lain.
2.
Cara
penyelesaian Ta’arudh al-adillah yaitu dengan Al-Jam’u wa Al-Taufiq,
Tarjih, Nasakh dan Tasaqut al-Dilalain.
B.
SARAN
1.
Penulis
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai ta’arudh
al-adillah sehingga kita dapat memahami dan tidak cepat mengambil
kesimpulan ketika terjadi pertentangan antara dua dalil.
2.
Penulis
berharap semoga makalah ini dapat menambah kepustakaan kita dalam bidang Ushul
Fiqh khususnya tentang ta’arudh al-adillah.
3.
Penulis
berharap agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya yang membangun
dalam rangka membangun makalah ini agar lebih sempurna mengingat penulis juga
manusia yang tak luput dari kekurangan dan kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali Pers.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul
Fiqh. Jakarta: Kencana.
Alaiddin Koto. 2006. Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir
Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Amzah.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sanusi, Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul
Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Khallaf, Abdul Wahab. 2012. Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta: Rineka Cipta.
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh
Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
[2] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 231.
[4] Menurut KBBI,
menafikan bermakna menolak; menapik; mengingkari; menyangkal; kita harus
menolak.
[5] Alaiddin Koto,
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 141.
[6] Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta :
Amzah, 2009), h. 311. Lihat juga
: Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 225.
[7] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 134. Lihat
Juga : Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
[8] Sapiudin
Shidiq, Loc. Cit.
[9] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 134. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan Samsul
Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
[10] Alaiddin Koto,
Op. Cit, h. 143.
[11] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 134-135. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan Samsul
Munir Amin, Op. Cit, h. 312-313.
[12] Mardani, Loc. Cit.
[13] Sapiudin
Shidiq, Loc. Cit.
[14]Istidlal berasal dari
kata Istadalla yang berarti minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik
kesimpulan. Istidlal menurut istilah adalah mencari dalil yang tidak ada
dalam nash Al-qur’an dan as-Sunnah, tidak ada pada Ijma’ dan tidak ada pada Qiyas.
[15] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 292.
[16] Alaiddin Koto,
Op. Cit, h. 142.
[17] Sapiudin
Shidiq, Op. Cit, h. 232.
[18] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 135.
Lihat juga : Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 233.
[19] Sapiudin
Shidiq, Loc. Cit.
[20] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 135-136.
[21]Ibid.
[22] Riba nasiah
adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya
diundurkan. Lihat : Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), h. 62.
[23] Riba fadl
adalah semata-mata berlebihan pembayaran. Lihat : Ibid.
[24] Sapiudin Shidiq,
Op. Cit, h. 233-234.
[25] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 136-137.
[26] Sapiudin
Shidiq, Op. Cit, h. 234.
[27] Ahmad Sanusi
dan Sohari, Op. Cit, h. 138.
[30]
Sapiudin
Shidiq, Op. Cit, h. 244.
[31] Rachmat
Syafe’i, Op. Cit, h. 231.
[32] Ibid,
h. 232.
[33] Ibid,
h. 234.
[34] Ibid, h.
232-233.
[35] Ibid, h.
236.
[36]Mardani, Op.
Cit, h. 394.
[37] Rachmat
Syafe’i, Op. Cit, h. 242.
[38] Mardani, Op.
Cit, h. 395.
[39]
Sapiudin
Shidiq, Loc. Cit.
izin share sebagai bahan siswa madrasah. suwun
BalasHapusizin mengcopy paste untuk bahan materi makalah
BalasHapus