Makalah Ushul Fiqh : Ta'arudh al-adillah

Jasa Pembuatan Makalah
Hub : 081378337623



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Ta’arudh al-adillah adalah suatu istilah yang dijumpai dalam Ilmu Ushul Fiqh. Secara etimologi ta’arudh yaitu saling bertentangan atau pertentangan antara dua perkara.
Adapun Ta’arudh al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah Berhadap-hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.
Sebenarnya, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’I maupun zanni.
Dalam keberangsuran turunnya wahyu ditemukan adanya dalil-dalil yang terkesan bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya (taarudh al-adillah). Hal ini sering dijadikan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang ingin menyesatkan umat Islam. Misalnya dengan menganggap perbedaan pendapat (penyimpangan pendapat) sebagai hal yang juga ditemukan dalam tasyri’ hukum Islam. Untuk itu, kita harus mengetahui bagaimana melihat konteks yang bertentangan tersebut.
Hal inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul “Ta’arudh al-adillah”. Selain itu, makalah ini ditulis juga di latar belakangi untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh II di mana penulis ditunjuk untuk menyajikan makalah dengan judul tersebut.



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang di maksud dengan “Ta’arudh al-adillah” dan apa sajakah yang termasuk ke dalam Ta’arudh al-adillah?
2.      Bagaimana cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah?

C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui maksud dari “Ta’arudh al-adillah” dan macam-macam Ta’arudh al-adillah.
2.      Untuk mengetahui cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
Secara etimologi ta’arudh yaitu saling bertentangan[1] atau pertentangan antara dua perkara.[2] Dilihat dari asal katanya, ta’arudh berasal dari kata ‘aradha.[3]
Prof. Alaiddin Koto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh mengakatan bahwa ta’arudh berasal dari kata ‘arudh yang memiliki arti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama Ushul mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang masing-masing menafikan[4] apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain.[5]
            Sedangkan adillah (الْأَدِلَّةُ) adalah jama’ dari dalil (الدَّلِيْلُ) berarti alasan, argumen, dan dalil.[6]
Sedangkan secara terminologi, ta’arudh yaitu:
تَعَارَضَ البَيَّنَاتُ لِاَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ تَعْتَرِضُ الْاُخُرىَ وَتَمْنَعُهَا
            “Ta’arudh bukti-bukti karena masing-masing menentang yang lain dan mencegah berlakunya.”
            Ali Hasabillah mengemukakan taarudh al-adillah sebagai berikut:
التَّعَا رُضث اَنْ يَقْتَضِى اَحَدُ الَّ لِيْلَيْنِ التَسَاوِ يَنِ فِى مَرْتَبَةِ الشُّبُوْتِ نَقِيْض مَا يَقْتَضِيَهُ الْاَخَر
            “Ta’arudh itu hendaknya satu dari dalil yang sama martabat tsubutnya mengandung ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalil yang lain.”[7]
Menurut Wahbah Zuhaili: “terdapat dua dalil, salah satunya menunjukkan hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh nash dan yang lainnya.[8]
Adapun Ta’arudh al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah:
تَقَابَلَ الدَّ لِيْلَيْنِ عَلَى سَبِيْلِ المِمَا نَغَةِ
            “Berhadap-hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.”[9]
Ulama Ushul melihat bahwa ta’arudh tidak hanya terjadi di sekitar ayat-ayat Al-Quran dan Hadist, tetapi juga di antara dua qiyas antara kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil yang menyebabkan berbeda pula produk hukum yang dihasilkan.[10]
Yang perlu ditegaskan dalam pengertian ta’arudh ini ialah permasalahannya ada ketentuan waktunya, sehingga pengertian Ta’arudh dapat disimpulkan menjadi :
اِقْتِضَءُ نُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الدَّلِيْلَيْنِ فِى وَقْتٍ حُكْمًا فِى الوَا قِعِةِ يُخَالِفُ مَا يَقْتَضِيَهُ الدَّ لِيْلُ الْاَ خَرُ فِيُهَا
            “Masing-masing dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki dalil yang lain.”
            Dari pengertian di atas, ada lima ketentuan dalam pengertian ta’arudh, yakni:
1.      Adanya dua dalil.
2.      Sama martabat atau derajat keduanya.
3.      Mengandung ketentuan yang berbeda.
4.      Berkenaan dengan masalah yang sama.
5.      Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.[11]

Sebenarnya menurut Wahbah Zuhaili, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil-dalil yang qath’I maupun zanni. Pendapat Wahbah Zuhaili ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S An-Nisa’ [4] : 82).[12]
Abdul Wahab Khallaf sependapat dengan Wahbah Zuhairi, menurutnya yang perlu diperhatikan dalam memahami Taarudh al-adillah, bahwasannya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat atau antara dua hadist yang shahih atau antara ayat dan hadist shahih. Jika kelihatannya ada kontradiksi itu hanya lahirnya saja sesuai dengan yang tampak pada akal. Bukan kontradiksi yang sebenarnya. Alasannya adalah karena Allah tidak mungkin mengeluarkan dua hukum yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam satu waktu.[13]
Lebih lanjut Abdul Wahhab Khallaf berpendapat, apabila dua nash saling bertentangan menurut lahiriyahnya, maka wajib dilakukan pembahasan dan ijtihad dalam rangka menggabungkan dan menyesuaikan antara keduanya melalui cara yang shahih dari berbagai cara penggabungan dan penyesuaian : Jika hal tersebut tidak mungkin dilakukan, maka wajib dilakukan pengkajian dan ijtihad dalam rangka mentarjihkan salah satu dari kedua nash itu dengan salah satu cara tarjih. Kemudian jika hal ini tidak mungkin dan itu juga tidak mungkin, sedangkan sejarah kedatangan kedua nash itu diketahui, maka nash yang menyusul menasakhkan nash yang tedahulu; dan jika sejarah kedatangan nash itu tidak diketahui, maka pemberlakuan terhadap kedua nash itu ditangguhkan. Apabila dua qiyas dan dua dalil selain nash bertentangan, dan tidak mungkin mentarjih salah satu dari keduanya, maka istidlal[14] dengan kedua qiyas atau dua dalil ini dikesampingkan.[15]
Oleh karena itu, ta’arudh di sini perlu dipahami sebagai pertentangan dalam nash menurut tanggapan manusia ketika memahami nash itu sendiri. Karena manusia tidak mungkin akan mengetahui makna hakiki dan mutlak sebagaimana adanya dalam konsep Allah. Pertentangan tersebut adalah semata-mata keterbatasan manusia dalam menangkap pesan-pesan syar’i yang sedang mereka pelajari.[16]
Hal penting yang perlu diketahui tentang ta’arudh adalah bahwa “kontradiksi dua dalil syara’ tidak mungkin terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama kuatnya.” Apabila salah satu dari dua dalil ada yang lebih kuat maka yang diamalkan adalah dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, tidak akan terjadi kontradiksi antara dalil yang qath’i dan dalil yang zhan, antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi hanya dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadist yang mutawwatir atau antara dua qiyas.[17]
B.     SYARAT-SYARAT TA’ARUDH AL-ADILLAH
Ada lima ketentuan dalam ta’arudh untuk mengetahui apakah suatu dalil tersebut bisa dikatakan bertentangan seperti pada penjelasan dari pengertian ta’arudh itu sendiri, yakni:
1.      Hukum kedua dalil tersebut saling bertentangan seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan.
2.      Objek hukum yang bertentangan tersebut sama.
3.      Waktu berlakunya hukum tersebut sama.
4.      Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan sama.
5.      Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.



C.     MACAM-MACAM TAARUDH AL-ADILLAH
Secara umum, ada 4 (empat) macam taarudh al-adillah:
1.      Ta’arudh antara Al-Quran dengan Al-Quran.
Firman Allah swt:
وَٱلۡخَيۡلَ وَٱلۡبِغَالَ وَٱلۡحَمِيرَ لِتَرۡكَبُوهَا وَزِينَةٗۚ ...٨
“dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan...” (Q.S An-Nahl [16]: 8).
Dalam ayat ini, kuda dan bighal hanya diperuntukkan untuk kendaraan dan hiasan saja, sedang ayat ini mengandung ketentuan lain.
ٱللَّهُٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَنۡعَٰمَ لِتَرۡكَبُواْ مِنۡهَا وَمِنۡهَا تَأۡكُلُونَ ٧٩
“Allahlah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan.” (Q.S Ghafir [40]: 79).
Pengertian an’am pada ayat di atas meliputi kuda dan bighal, sehingga di samping kuda dan bighal itu bisa dikendarai juga bisa untuk dimakan.[18]
Serta pada dalil berikut :
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٢٣٤
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 234).
Nash ini berdasarkan keumumannya menghendaki bahwasanya setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka iddah isterinya berakhir dengan empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam keadaan hamil atau tidak.
Sedangkan dalam ayat berikut, Allah berfirman sebagai berikut :
...وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ... ٤
“...Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (Q.S At-Thalaq [65] : 4).
Nash ini sesuai dengan keumumannya menunjukkan bahwasanya setiap wanita yang hamil, iddahnya adalah dengan melahirkan kandungannya, baik beriddah karena ditinggal mati suaminya atau tidak. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, merupakan suatu kasus dimana nash yang pertama menghendaki bahwa iddahnya berakhir dengan masa tunggu empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash yang kedua menghendaki iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungannya. Jadi dua nash tersebut saling bertentangan pada kasus ini.
Dua ayat di atas harus dikompromikan. Jika istri yang ditinggal suaminya sedang hamil, maka hendaknya ber-iddah dengan salah satu yang lebih dari dua ketentuan di atas. Seandainya ia melahirkan kandungannya sebelum empat bulan sepuluh hari dari tanggal wafat suaminya, maka ia harus menanti sampai sempurna empat bualn sepuluh hari. Apabila dalam empat bulan sepuluh hari ia belum juga melahirkan, maka iddah-nya sampai ia melahirkan.[19]


Contoh lain ada pada surah Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
Dengan surah berikut ini :
يُوصِيكُمُٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ... ١١
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan...”
(Q.S An-Nisa’ [4] : 11).
Ayat yang pertama mewajibkan terhadap orang yang mewariskan, apabila ia mendekati kematiannya untuk berwasiat harta peninggalannya untuk kedua orang tuanya dan karib kerabatnya dengan cara yang makruf. Ayat yang kedua mewajibkan kepada masing-masing dari orang tua, anak-anak dan karib kerabat suatu hak yang dari harta peninggalan sesuai dengan wasiat Allah, bukan wasiat orang yang mewariskan. Kedua ayat tersebut saling bertentangan secara lahiriyah, dan memungkinkan untuk mengadakan penyesuaian antara keduanya, dengan cara bahwa yang dimaksud pada surah al-Baqarah adalah dua orang tua dan karib kerabat terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang sebagaimana perbedaan agama.



Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini yaitu :
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ... ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 3).
Ayat ini tampaknya ta’arudh dengan firman Allah swt yang berbunyi :
قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ... ١٤٥
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...” (Q.S Al- An’am [6] : 145).[20]
2.      Ta’arudh Al-qur’an dengan Sunnah
Terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 180)

Sedangkan hadis Rasulullah Saw menyatakan sebaliknya :
اِنَّاللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (H.R Tarmidzi)
3.      Ta’arudh  Sunnah dengan Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ وَاُمِّ سَلاَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبَا مِنُ جِاَعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ. (متفق عليه)
            “Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwa Nabi masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima’ kemudian mandi dan menjalankan puasa.” (H.R Bukhari Muslim).
            Hadist ini bertentangan dengan hadist yang berbunyi :
اِذَكُودِىَ لِلصَّلاَةَ الصُّبْحِ وَاَحَدُكُمْ جُنُبَا فَلاَ يَصُومْ يَوْمُهُ. (روه امام أحمد وابن حبان)
            “Bila telah dipanggil untuk sembahyang Subuh, sedang salah satu di antaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu.” (H.R Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).[21]
            Contoh lain yaitu tentang riba :
لَا رِبَا اِلَّا فِى النَّسِيْئَةِ
            “Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang).” (H.R Bukhari dan Muslim).
            Hadist di atas menjelaskan bahwa riba hanya terdapat adalah nasiah.[22]
Sedang dalam hadist lain Rasulullah bersabda :
لَا تَبِعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ اِلَّا مَثَلًا بِمَثَلٍ
            “Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.” (H.R Bukhari dan Muslim).
            Dari dua hadist di atas tampak terlihat adanya pertentangan mengenai hukum riba. Hadist pertama menjelaskan bahwa riba hanya terdapat pada jual beli sedangkan hadist kedua melarang riba fadl[23] kecuali menukar benda yang sejenis. Jika dikompromikan kedua hadist di atas maka dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan ialah riba nasiah sedangkan riba fadl dibolehkan jika benda yang ditukar itu sejenis.[24]
4.      Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas
Ta’arudh kedua dalil ini bisa dikemukakan antara sunnah dengan qiyas dalam menetapkan hukum kebolehan bagaimana halnya bila seseorang mengadakan jual beli unta atau kambing yang diikat puting susunya agar kelihatan besar, sedang setelah dibeli dan diperah air susunya terbukti adanya ghahar.
Sabda Nabi Muhammad saw :
“Janganlah hendaknya anda mengikat susu unta ataupun kambing (agar kelihatan besar), barang siapa membelinya sesudah terjadi demikian, maka boleh memilih di antara dua pandangan yang dianggap baik bila menghendaki boleh melangsungkan jual beli itu, atau mengembalikannya dengan membayar satu sha’ dari tamar.” (H.R Muthafaqun ‘Alaih dari Abi Hurairah).
Dalam hadist ini disebutkan bahwa bila memilih pengembalian unta atau kambing itu pembeli dengan membayar satu sha’ dari tamar. Ini pendapat Jumhur. Ulama Hadawiyah berpendapat lebih sesuai dengan mengembalikan perahan susu itu bila masih dan bila telah habis dengan mengganti harga air susu itu, hal ini diqiyaskan pada tanggungan bila menghabiskan atau merusak barang orang lain, maka pihak yang menggunakan barang orang lain itu mengganti sejumlah atau senilai dengan yang telah dipergunakan.
Ta’arudh antara qiyas dan sunnah ini dapat juga dikemukakan, tentang ukuran ‘aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk putra, didasarkan pada hadist :
اَلْعِقَيُقَةُ حَقٌّ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَا فَئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِ يَةِ شَاةٌ
“’Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk perempuan seekor kambing.” (H.R Asma binti Yazid).
Bagi yang berpegang pada qiyas, maka untuk aqiqah ini boleh hewan yang lebih besar seperti unta dan sapi. Ini pendapat hampir sebagian para fuqaha. Sedang yang berpegang pada hadist di atas ialah Imam Malik, bahwa ‘aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih kambing.[25]
5.      Ta’arudh antara Qiyas dengan Qiyas
Muhammad Abu Zahra mencontohkan tentang perwalian. Aliran Hanafiah memiliki pandangan yang berbeda dengan aliran Syafi’i tentang illat  perwalian bagi anak perempuan. Menurut Imam Abu Hanifah, illat perwalian adalah sighar (keadaan di bawah umur), oleh karena itu hak perwalian hilang apabila anak itu sudah sampai usia baligh.
Adapun menurut Imam Syafi’i, illat-nya adalah bukarah (kegadisan), jadi hak perwalian hilang apabila anak sudah melangsungkan pernikahan, walaupun belum sampai usia baligh, dan hak perwalian tetap ada walaupun usia sudah sampai baligh tetapi belum menikah.[26]
Contoh lain dari ta’arudh antara qiyas dengan qiyas itu ialah terhadap masalah perkawinan Rasulullah dengan siti ‘Aisyah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
وَعَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ : تَزَوَّجَنِى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ لِسَتِ سِنِيْنَ وَبَنِيَى بِى وَانَا بِنْتُ تِسْحِ سِنِيْنِ. (رواه مسلم عن عائسة)
“Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah saw mengawini saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuli ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun.” (H.R Muslim dari ‘Aisyah).
Atas dasar hadist ini, diambil hukum kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiah. Sedang ulama Syafi’iyah menganggap karena kegadisannya. Dengan demikian, kalo telah tasyib sekalipun masih belum dewasa orang tua tidak mempunyai hak ijbar.[27]
D.    CARA PENYELESAIAN
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain.
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Menurut Abdul Wahab Khallaf, jalan keluar bila didapati ta’arudh adalah sebagai berikut:
1.      Bila terjadi ta’arudh wajiblah diadakan ijtihad dengan mengadakan jamak dan taufik di antara keduanya.
2.      Bila tidak bisa dilakukan demikian, dilaksanakan tarjih menurut jalan-jalan yang telah ditetapkan.
3.      Bila tidak juga bisa dilakukan tarjih, maka dicari mana yang lebih dahulu dan yang kemudian wurudnya, untuk dinyatakan nasikh mansukh.
4.      Bila tidak juga bisa dicari mana yang dinyatakan nasikh mansukh, maka ditawaqufkan keduanya.
Untuk lebih jelasnya, maka urutan-urutan jalan keluarnya adalah sebagai berikut :
1.      Bila ta’arudh itu antara ayat dengan ayat, maka yang diprioritaskan adalah dengan mengadakan jama’ dan taufiq.
2.      Bila antara sunnah dengan sunnah, dilakukan jama’ taufiq kemudian tarjih. Bila tidak dapat dilakukan tarjih dicari mana yang lebih dahulu wurudnya dan mana yang kemudian. Yang kemudian dinyatakan nasikh dan yang dahulu dinyatakan mansukh.
3.      Bila antara sunnah dengan qiyas, maka dibedakan :
a.       Bila hal itu urusan ibadah, maka dinyatakan ta’arudh tidak ada, karena qiyas tidak dipergunakan dalam ibadah, dengan kata lain kita tinggalkan qiyas dan kita pakai sunnah.
b.      Bila ta’arudh itu bukan urusan ibadah, maka kita adakan jama’ dan taufiq, dalam arti kita takwilkan arti pada sunnah itu sehingga sesuai qiyas.
4.      Bila antara qiyas dengan qiyas, maka langsung kita tarjihkan. Yang rajih kita pakai dan yang marjuh kita tinggalkan.[28]
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
1.      Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Jam’u wa Taufiq)
Yaitu mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Maksud dari cara ini adalah agar kedua dalil yang tampaknya ta’arudh menjadi tidak ta’arudh dan bisa dipergunakan keduanya.[29]
Perbedaan jam’u dan taufiq yaitu jam’u adalah usaha-usaha untuk mengumpulkan atau menggabungkan dalil-dalil yang kontradiksi, sedangkan taufiq adalah usaha untuk mengkompromikan hal-hal yang telah ditemukan dari proses jam’u.[30]


Contoh misalnya firman Allah swt dalam surah Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ ... ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 2).
Ayat di atas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada ayat lain dalam surah Al An’am ayat 145:
قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا ... ١٤٥
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...” (Q.S Al- An’am [6] : 145)
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
2.      Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
a.       Nasakh
Dari segi bahasa, nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan definisi menurut ulama Ushul Fiqh, yang mashur ada dua yaitu :
بَيَانُ انْتِهَاءِ اَمَدِّ حُكْمٍ شَرِعِيٍّ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ مُتْرَاخٍ عَنْهُ.
            “Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syari’ yang datang kemudian.”

رَفْعِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَنِ اْلمُكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرٍ.
            “Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.”[31]
Para ahli Ushul Fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
1)      Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus).
2)      Yang dibatalkan adalah adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3)      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.[32]
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh itu dibolehkan, didasarkan pada firman Allah swt :
۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١٠٦
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 106).[33]




Perbedaan Nasakh dengan takhsis
Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk mengkhususkan  sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan di antara keduanya adalah : takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nash dan yang sebelumnya telah berlaku.
Rukun Nasakh
(1)   Adat an-nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
(2)   Nasikh adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah swt, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
(3)   Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
(4)   Mansukh ‘anhu yaitu orang yang dibebani hukum.[34]
Syarat-syarat Nasakh
(1)   Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
(2)   Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
(3)   Pembatalan hukum tidak disebabkan berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
(4)   Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.[35]



Salah satu contoh nasakh yaitu terdapat dalam hadist Nabi tentang ziarah kubur:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَة الْقَبْرِ فَزُوْرُوْهَا. (رواه مسلم)
            “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi kini ziarahlah.” (H.R Muslim).
Contoh lain terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah [2] : 180)
Ayat di atas di nasakh oleh hadis Rasulullah Saw:
اِنَّاللهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
“Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendenganr Rasulullah Saw. Bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (H.R Tarmidzi).[36]








b.      Metode tarjih
Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”.
            Menurut Ulama Hanafiyah, tarjih secara terminologi yaitu :
            “Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan yang berdiri sendiri.”
            Sedangkan, pengertian tarjih secara terminologi menurut Jumhur Ulama ialah :
            “Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lsinnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”[37]
Contoh Tarjih
Hadis Rasulullah Saw. Berikut:
Dari Abdurrahman bin Auf ia berkata, adalah Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa yang junub sampai tiba waktu subuh, maka tidaklah ada puasa baginya.”(HR Ahmad)
Sementara Aisyah meriwayatkan hadis:
Dari Rasulullah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. Bahwa keduanya berkata “Rasulullah Saw masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan Ramadhan, kemudian beliau puasa.” (HR Malik)
Kedua hadis di atas terjadi ta’arudh, namun ulama mengatakan dalil hadis kedua (riwayat Aisyah dan Ummu Salamah lebih kuat) dari pada hadis riwayat Abu Hurairah.[38]
3.      Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
a.      Tawaquf
Secara bahasa berarti berhenti atau sikap untuk tidak mengamalkan terhadap dalil-dalil yang terlihat kontradiksi. Ketika mencari jalan keluar terhadap dalil-dalil yang terlihat saling bertentangan telah dilalui semua, tetapi masih saja menemui jalan buntu maka tidak ada cara lain kecuali tawaquf.[39]
Tawaquf  dilakukan menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya.
b.      Metode Tasaquth al-dalilain
Yaitu meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan. Maka, langkah yang harus ditempuh adalah dengan mengambil keterangan yang lebih rendah dari Al-qur’an, yaitu Sunnah. Apabila tetap bertentangan, maka diambil metode qiyas.
Kedua metode ini belum pernah ditempuh oleh para ulama karena tidak ada persoalan hidup di dunia ini yang lepas dari ayat atau hadist. Metode ini dibuat sekedar untuk persiapan kalau ada permasalahan yang memang lepas dari dalil-dalil Al-quran maupun hadist.
            Tahapan Penyelesaian Ta’arudh al-adillah Menurut Para Ulama
Metode Hanafiyyah
Metode Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
1.      Nasakh
a.       Al-Jam’u wa Al-Taufiq
2.      Tarjih
b.      Tarjih
3.      Al-Jam’u wa Al-Taufiq
c.       Nasakh
4.      Tasaqut Al-Dalilain
d.      Tasaqut Al-Dalilain

Berikut penjelasan mengenai beberapa perbedaan  antara keduanya, yaitu antara lain:
a. Tindakan pertama kali yang harus dilakukan seorang mujtahid  untuk menolak pertentangan  menurut madzhab Hanafiyah adalah me-nasakh. Adapun menurut madzhab Syafi’iyah, tindakan petama yang harus dilakukan adalah mengkompromikan (jama’) kedua nash yang saling bertentangan tersebut.
b.      Madzhab Syafi’i lebih mendahulukan jama’ daripada tarjih, sehingga tidak boleh mentarjih kecuali apabila kedua dalil yang bertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan. Sedangkan madzhab Hanafi lebih mendahulukan tarjih daripada jama’, karena mengamalkan yang lebih unggul dan meninggalkan dalil lainnya dari kedua dalil yang saling bertentangan adalah sesuai dengan pendapat yang telah disepakati oleh orang-orang berakal. Mereka memandang bahwa jika jama’ lebih didahulukan daripada tarjih, maka hal itu berarti mendahulukan dalil yang tidak diunggulkan dan meninggalkan yang lebih unggul. Mereka memandang bahwa jama’ adalah metode yang tidak diunggulkan. Metode yang lebih unggul adalah mengamalkan dalil yang lebih unggul dengan cara mentarjihnya. Mereka juga berpendapat bahwa menggunakan tarjih bukan berarti menonaktifkan atau meninggalkan salah satu dari dalil yang bertentangan, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.



















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Ta’arudh al-adillah yaitu pertentangan antara dua dalil di mana masing-masing dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehendaki dalil yang lain.
2.      Cara penyelesaian Ta’arudh al-adillah yaitu dengan Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Tarjih, Nasakh dan Tasaqut al-Dilalain.

B.     SARAN
1.      Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai ta’arudh al-adillah sehingga kita dapat memahami dan tidak cepat mengambil kesimpulan ketika terjadi pertentangan antara dua dalil.
2.      Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah kepustakaan kita dalam bidang Ushul Fiqh khususnya tentang ta’arudh al-adillah.
3.      Penulis berharap agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya yang membangun dalam rangka membangun makalah ini agar lebih sempurna mengingat penulis juga manusia yang tak luput dari kekurangan dan kesalahan.








DAFTAR PUSTAKA

Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali Pers.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Alaiddin Koto. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Amzah.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sanusi, Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Khallaf,  Abdul Wahab. 2012. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Mardani. Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja GrafindoPersada, 2013),  h. 391
[2] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),  h. 231.
[3]aradha berarti menghalangi, mencegah, atau membandingi.
[4] Menurut KBBI, menafikan bermakna menolak; menapik; mengingkari; menyangkal; kita harus menolak.
[5] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006),  h. 141.
[6] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2009),  h. 311. Lihat juga : Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),  h. 225.
[7] Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 134. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
[8] Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
[9] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 134. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
[10] Alaiddin Koto, Op. Cit, h. 143.
[11] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 134-135. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312-313.
[12] Mardani,  Loc. Cit.
[13] Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
[14]Istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Istidlal menurut istilah adalah mencari dalil yang tidak ada dalam nash Al-qur’an dan as-Sunnah, tidak ada pada Ijma’ dan tidak ada pada Qiyas.
[15] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),  h. 292.
[16] Alaiddin Koto, Op. Cit, h. 142.
[17] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 232.
[18] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 135.  Lihat juga : Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 233.
[19] Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
[20] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 135-136.
[21]Ibid.
[22] Riba nasiah adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya diundurkan. Lihat : Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 62.
[23] Riba fadl adalah semata-mata berlebihan pembayaran. Lihat : Ibid.
[24] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 233-234.
[25] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 136-137.
[26] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 234.
[27] Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 138.
[28]Ibid, h. 139.
[29] Ibid, h. 140.
[30] Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 244.
[31] Rachmat Syafe’i,  Op. Cit,  h.  231.
[32] Ibid, h. 232.
[33] Ibid, h. 234.
[34] Ibid, h. 232-233.
[35] Ibid, h. 236.
[36]Mardani, Op. Cit, h. 394.
[37] Rachmat Syafe’i, Op. Cit, h. 242.
[38] Mardani, Op. Cit, h. 395.
[39] Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

FIQH MAWARIS; TAKHARRUJ

Makalah Sejarah Islam Asia Tenggara : Islam di Thailand