Makalah HAN Tentang PTUN oleh Nurul Fauza
Tugas Kelompok Dosen
Pembimbing:
Dalam Mata Kuliah: Wahyuni,
S.H., M.H
Hukum
Administrasi Negara
PERADILAN
TATA USAHA NEGARA
OLEH:
Nurul Fauza (11527203209)
JURUSAN
ILMU HUKUM
SEMESTER
IV LOKAL D
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hukum
Administrasi Negara mengatur susunan dan wewenang khusus alat-alat perlengkapan
kenegaraan seperti kepegawaian, peraturan-peraturan wajib militer,
peraturan-peraturan perumahan, peraturan-peraturan jaminan sosial, peraturan
buruh dan sebagainya. Administrasi negara diserahi tugas menyelenggarakan Kesejahteraan
umum yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan di mana turut serta
pemerintah secara aktif dalam pergaulan manusia untuk melaksanakan tugasnya.
Peradilan tata
usaha negara di Indonesia berwenang untuk menangani sengketa tata usaha negara.
Peradilan tata usaha negara diadakan untuk mengahadapi timbulnya perbenturan
kepentingan, perselisihan atau sengketa antar badan atau pejabat tata usaha
negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan dua, macam cara penyelesaian
yakni upaya administrasi yang penyelesaian masih dalam lingkungan administrasi
pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Dalam PTUN,
seseoarng dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya
telah merugikan individu atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang
berperkara di pengadilan tata usaha negara ada dua yakni, pihak penggugat yaitu
seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan
dikeluarkannnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh badan atau pejabat tata
usaha negara, serta pihak tergugat yaitu badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan bedarsarkan wewenang yang ada padanya dan yang
dilimpahkan kepadanya.
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan
khusus yang berada di bawah Mahkamah Agung, berdasarkan Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana di ubah dengan
Undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang
kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi
atau kewenangan mengadili. Peradilan Tata Usaha Negara akan menyelesaikan
sengketa yang terjadi di dalam lingkungan administrasi itu sendiri.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
dan sejarah dari peradilan tata usah negara
2.
Bagaimana
asas dan kewengan dari peradilan tata usaha negara
3.
Bagaimana
kompetensi dan subjek objek dalam
peradilan tata usaha negara
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian dan sejarah peradilan tata usaha negara
2.
Untuk
mengetahui bagaimana asas dan kewenangan peradilan tata usha negara
3.
Untuk mengetahui bagaimana kompetensi dan
subjek objek dalam peradilan tata usaha negara
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN SEJARAH PTUN
1.
Pengertian PTUN
Menurut Rozali
Abdullah, hukum acara PTUN adalah rangkaian peraturan peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan Tata Usaha Negara.[1]
Pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, Yaitu:
(1)
Ketentuan
prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya peradilan
dalam bentuk UU atau perturan lainnya.
(2)
Ketentuan
prosedur berperkara diaturtersendiri masing-masing dalam bentuk UU atau bentuk
peraturan lainnya.
Prof. Ir. S.
Prajudi Atmosudirdjo, SH memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
a)
Dalam
arti luas
“Peradilan yang
menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi Negara, baik yang
bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan
perkara administrasi Negara.”
b)
Dalam
arti sempit
“Peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-mata.”
2.
Sejarah PTUN
Pada Masa Hindia Belanda, Pengadilan
Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem administratief beroep. Kemudian,
setelah Indonesia merdeka, yaitu
pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi,
yaitu:
- Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
- Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
- Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai
terjadi dengan keluarnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan antara lain
Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa
administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara di mana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada
Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.
3.
Kedudukan PTUN
Kedudukan PTUN ditentukan dalam pasal 4
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan tata
usaha negara dalam undang-undang dilaksanakan oleh pengadilan tata usaha negara
dan pengadilan tinggi tata usaha negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung
sesuai dengan prinsip-prisip yang ditentukan oleh undang-undang No. 14 Tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan undang-undang
No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
B.
TUJUAN DAN ASAS-ASAS DALAM PTUN
1.
Tujuan PTUN
Fungsi hukum adalah
menegakkan kebenaran untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah merupakan hal
yang pokok bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, maka dibutuhkan adanya
lembaga-lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini. Keadilan ini
dituntutkan untuk semua hubungan masyarakat, hubungan-hubungan yang diadakan
oleh manusia dengan manusia lainnya, oleh karena itu berbicara tentang keadilan
meliputi segala kehidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.
Keadilan ini erat hubungannya dengan kebenaran, karena sesuatu yang tidak benar
tidaklah mungkin adil. Sesuatu itu benar menurut norma-norma yang berlaku akan
tercapailah keadilan itu.
Juniarto, SH
mengemukakan ada 4 macam kebenaran untuk mencapai keadilan yaitu;
a)
Kebenaran
di dalam menentukan norma-norma hukum yang berlaku agar sesuai dengan rasa
kebenaran yang hidup dalam masyarakat.
b)
Kebenaran
berupa tindakan-tindakan dari setiap anggota masyarakat dalam melakukan
hubungan agar sesuai dengan norma-norma hukumya berlaku.
c)
Kebenaran
dalam mengetahui fakata-fakta tentang hubungan-hubungan yang sesungguhnya
terjadi sehingga tidak ada penambahan atau pengurangan maupun penggelapan
daripadanya.
d)
Kebenaran
di dalam memberikan penilaian terhadap fakta-faktanya terhdap norma-norma hukum
yang berlaku.
Demikian empat
kebenaran yang harus diperhatikan dalam rangka mencapai keadilan. Kepada
lembaga-lembaga yang bertugas untuk menetapkan keadilannya atau dengan
perkataan lain bertugas memberi kontrol, meminta pertanggungjawaban dan
memberikan sanksi-sanksinya, maka tindakan pertama yang harus diperhatikan
ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta. Peradilan Tata Usaha Negara adalah
salah satu lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan ini juga harus
memperhatikan kebenaran-kebenaran tersebut untuk mencapai keadilan. Demikian
pula para anggota yang duduk dalam lembaga ini harus mempunyai keadilan khusu
untuk itu dan terutama sekali mempunyai pengetahuan hukum yang cukup luas.
Prof. Ir. S. Prajudi Atmosudirdjo, SH, mengatakan bahwa tujuan daripada
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara
Administrasi Negara yang tepat menurut hukum (rechtmating) atau tepat menurut
undang-undang (wetmatig).
Jadi Peradilan
Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat oleh akibat pelaksanaan
atau penggunaan wewenang pemerintah yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa
dengan warga masyarakat.
2.
Asas Hukum Acara PTUN
Menurut
Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang
terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam
aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,yang berkenaan
dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.[2]
1)
Asas
praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa).
Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.
2)
Asas
gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang
dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat.
Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
3)
Asas para pihak harus didengar (audi et
alteram partem). Para pihak mempunyai keduduka yang sama. Hakim tidak dbenarkan
hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak
saja.
4)
Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis
baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA
sebagai Puncaknya.
5)
Asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam
campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung
bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945
jo pasal 4 4 UU 14/1970.
6)
Asas
peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).
Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam
waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya perkara juga menjadi ringan.
7)
Asas
hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim
mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (pasal
62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan
penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63
UU PTUN).
8)
Asas
siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam
siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU
PTUN).
9)
Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan
di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara,
kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah
Agung.
10)
Asas
pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini
menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).
11)
Asas
Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah
seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan
di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan
tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
C.
KOMPETENSI DAN SUBJEK OBJEK DI PTUN
1.
Kompetensi PTUN
Kompetensi
dalam kamus besar besar bahasa indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan atau memutuskan sesuatu. Kompetensi dari suatu pengadilan adalah
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan
tingkatan pengadilan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenisnya pengadilan dibedakan
atas pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan tata
usaha negara. Sedangkan berdasarkan tingkatnya pengadilan terdiri dari
pengadilan tingakat pertama , pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding),
Mahkamah Agung (pengadilan tingkat kasasi).
Ada beberapa
cara untuk mengetahui kompetensi dalam suatu pengadilan untuk memeriksa,
mengadili, dan memuutuskan suatu perkara, pertama, dapat dilihat dari
pokok sengketanya, kedua, dengan melakukan pembedaan atas atas atribusi
dan delegasi,ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut
dan relatif.[3]
Dapat dilihat
dari kelompok sengketanya, apabila kelompok sengketanya terletak dalam lapangan
hukumprivat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakum
peradilan umum). Apabila kelompok sengketanya terletak dalam lapangan hukum
publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang
berkuasa (hakim PTUN).
a)
Kompetensi Absolut
Kompetensi
absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili
suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut
adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara, sebagaimana yang dimaksu dalam pasal 10 UU 14/1970
kita mengnalemapat lingkunan peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Kompetensi
absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat
tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
b)
Kompetensi
Relatif
Kompetensi
relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan
itu.
Undang-Undang
No. 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua ats Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang PTUN, meliputi:
1.
Tempat
kedudukan tergugat, yag dimaksud adalah tempat
kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
2.
Tempat
kedudukan salah sau tergugat. Jika pihak yang menjadi tergugat lebih dari satu
badan atau pejabat tata usaha negara, maka gugatan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan/pejabat tata
usaha negara yang menjadi tergugat tersebut.
3.
Tempat
kedudukan pengugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat tergugat. Apabila
tempat kedudukan tergugat berda diluar daerah hukm penadilan tempat kediaman
tergugat, gugatan dapat disampaikan kepada PTUN tempat kediaman penggugat untuk
diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan
Pengaturan
kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal
54. Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9
Tahun 2004 menyatakan :
1)
Pengadilan
Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
2)
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Dalam Pasal 54
UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan gugatan dapat diajukan
kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat. Apabila tergugatnya lebih
dari satu, maka gugatan dapat diajukan keapda PTUN dari tempat kedudukan salah
satu tergugat. Gugatan juga dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan
penggugat untuk diteruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari
tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di laur
negri. Sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, maka gugatan
dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
2.
Obyek dan Subyek di PTUN
a.
Obyek
Obyek sengketa
di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3
dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No.
9 Tahun 2004. Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimmbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.[4]
b.
Subyek
a.
Penggugat
Penggugat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan dirugikan
oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha negaratutan agar Keputusan
tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan
atau disertai tata usaha Negara ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Alasan
mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun
2004 adalah
·
Keputusan
tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
·
Badan
atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaiaman
dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenagnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut.
·
Badan
atau pejabat tata usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada
pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
b.
Tergugat
Dalam Pasal 1
angka 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan pengertian
Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Hal ini mengandung
arti bahwa bukan orangnya sacara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang
melekat pada orang tersebut.
Yang dimaksud
dengan badan atau pejabat tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan, “Badan atau Pejabat tata usaha
negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Sebagai jabatan
TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjai pihak tergugat
dalam sengketa TUN dapat dikelompokan menjadi:
a)
Instansi
resmi pemerintah yang berada dibawah presiden sebagai kepala eksekutif.
b)
Instansi-instansi
dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan pemerintah.
c)
Badan-badan
hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
d)
Instansi-instansi
yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan piha swasta yang melaksanakan
tugas-tugas pemerintah
e)
Lembaga-lembaga
hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemererintahan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum acara
PTUN adalah rangkaian peraturan peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Tata
Usaha Negara.
Kedudukan PTUN ditentukan dalam pasal 4
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara. Kekuasaan.
Jadi Peradilan
Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat oleh akibat pelaksanaan
atau penggunaan wewenang pemerintah yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa
dengan warga masyarakat.
B.
SARAN
Demikianlah
yang dapat kami paparkan mengenai materi Peradilan Tata Usaha Negara.
Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan kemampuan
penulis dalam menulis makalah ini.
Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya, juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 1994. Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan ketiga. _____Jakarta : RajaGrafindo
.
Harahap, Zairin. 2008. Hukum Peradilan Tata
Usaha Negara. Jakarta: RajaGrafindo.
Dwi Putri. 2011. Hukum
Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : Gramata Publishing.
[1] Rozali
Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan ketiga, (Jakarta
: RajaGrafindo , 1994), hlm. 1-2.
[2] Zairin Harahap,
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: RajaGrafindo,2008) , hlm23-24.
[3] Ibid, hlm 28
[4] Dwi Putri,
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: gramata publishing , 2011),
hlm 14.
Komentar
Posting Komentar